REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nur Aini*)
Saat menutup keterangan pers pada 16 Maret 2018, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk tetap tenang dan tidak panik menghadapi virus corona. Saat wabah corona melanda, Presiden Jokowi meminta rakyatnya untuk bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang akan dilakukan pemerintahan Jokowi sehingga masyarakat dapat tenang dan tidak panik menghadapi virus corona yang telah ditetapkan WHO menjadi pandemik global?
Permintaan Presiden Jokowi tersebut dibuat setelah dia memaparkan sejumlah kebijakan untuk menghambat penyebaran corona dan tidak memperburuk dampak ekonomi. Kebijakan yang pertama adalah tidak ada lockdown atau karantina wilayah untuk menghambat penyebaran virus corona. Presiden Jokowi menegaskan, kebijakan penutupan di tingkat pusat maupun daerah merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dia dengan tegas melarang kebijakan lockdown diambil oleh pemerintah daerah. Pernyataan itu terkait dengan pertimbangan Pemprov DKI Jakarta untuk lockdown sebab kasus virus corona tertinggi berada di Ibu Kota.
Kebijakan selanjutnya dan yang disebut Presiden Jokowi paling penting adalah mengurangi mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain. Presiden Jokowi juga meminta orang menjaga jarak dan mengurangi kerumunan orang. Dia ingin kebijakan belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah dari rumah terus digencarkan.
Setelah menekankan tidak ada lockdown, Presiden Jokowi kembali menyinggung kebijakan Pemprov DKI terkait pengendalian virus corona di sektor transportasi. Dia ingin transporasi publik terus disediakan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sehari sebelumnya, Pemprov DKI mengurangi intensitas operasional transportasi umum, yaitu Transjakarta, MRT, dan LRT. Pengurangan operasional transportasi publik itu membuat kepadatan dan antrean panjang saat warga Jakarta berangkat kerja. Kebijakan itu kemudian dicabut setelah disinggung Presiden Jokowi.
Kebijakan kedua yang diungkap Presiden Jokowi adalah semua kebijakan besar di tingkat daerah terkait corona harus dibahas terlebih dahulu dengan pemerintah pusat. Dia menugaskan kementerian terkait dan satgas Covid-19 untuk menjadi jembatan komunikasi dengan pemerintah daerah. Kebijakan ketiga adalah dia meminta satgas Covid-19 menjadi satu-satunya rujukan informasi ke masyarakat untuk menghindari kesimpangsiuran informasi kepada publik.
Ketiga kebijakan Presiden Jokowi itu sangat tidak layak disampaikan oleh presiden yang memiliki kewenangan untuk mengerahkan seluruh sumber daya negara menghadapi pandemik virus corona. Kebijakan pertama terkait larangan lockdown adalah perintah Presiden Jokowi kepada pemerintah daerah yang hanya mengonfirmasi soal sentralisasi kewenangan. Tidak ada perintah spesifik bagi daerah untuk mengalokasikan sumber daya di daerahnya untuk menghadapi pandemik virus corona. Bagaimana kesiapan pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran untuk rumah sakit, menyediakan kebutuhan pokok, dan membantu masyarakat rentan terdampak, baik kesehatan maupun ekonomi, atas corona sama sekali tidak disinggung Presiden Jokowi.
Kebijakan yang disampaikan Presiden Jokowi juga sama sekali tidak memberikan solusi atas dampak yang ditimbulkan. Perintah mengurangi mobilitas dengan bekerja dari rumah jelas memberikan dampak signifikan pada pekerja dan perusahaan. Tidak semua pekerja bisa bekerja dari rumah. Pekerja informal seperti tukang bakso keliling, pedagang sayur, dan ojek daring mengandalkan mobilitas untuk mendapatkan pendapatan. Pekerja pabrik tidak bisa bekerja dari rumah. Perusahaan pun harus sementara menghentikan operasionalnya atau mengurangi produksi karena perubahan sistem kerja.
Perintah mengurangi kerumunan juga akan berdampak pada pembatalan atau penundaan berbagai acara, yang artinya pekerja seperti kru acara, pekerja harian, dan freelancer kehilangan mata pencaharian. Dengan memerintahkan kerja dari rumah, apakah Presiden Jokowi membayarkan kebutuhan dasar rumah tangga mereka yang kehilangan pekerjaan? Apakah Presiden Jokowi juga akan membayarkan cicilan KPR, sewa kontrakan, dan utang lainnya? Jika Presiden tidak memikirkan solusi atas dampak tersebut, jelas kebijakannya tidak inklusif dan meninggalkan masyarakat dari kelas sosial rentan.
Dampak kebijakan bekerja dari rumah tersebut pun tidak mampu diatasi dengan surat edaran menteri ketenagakerjaan tentang perlindungan pekerja atau buruh dan kelangsungan uUsaha dalam rangka pencegahan dan penanggulangan Covid-19, yang terbit pada 17 Maret 2020. Di dalam surat edaran itu, ada dua kebijakan yang dimuat, yaitu upaya pencegahan penyebaran dan penanganan kasus Covid-19 di lingkungan kerja dan melaksanakan perlindungan pengupahan bagi pekerja atau buruh terkait pandemi Covid-19. Kebijakan yang terdapat di dalamnya hanya dapat diberlakukan pada pekerja formal yang berada di bawah naungan perusahaan. Menaker meminta pembayaran upah penuh bagi pekerja yang menjadi orang dalam pemantauan (ODP) dan suspect virus corona.
Namun, tidak ada jaminan upah bagi pekerja yang terdampak kebijakan kerja dari rumah. Besaran upah dan cara pembayaran bagi pekerja terdampak kebijakan kerja dari rumah diserahkan kepada kesepakatan pengusaha dan pekerja, yang bisa jadi adalah omong kosong sebagai kesepakatan. Penentuan upah selama ini yang terjadi adalah keputusan pengusaha. Apalagi, dalam surat edaran itu disebutkan bahwa pembayaran upah mempertimbangkan kelangsungan usaha yang jelas merupakan penilaian dari pengusaha sendiri. Itu artinya, pekerja yang bukan ODP dan suspect virus corona upahnya bisa saja dipotong karena perubahan sistem kerja dari rumah.
Kebijakan yang ingin masyarakat dengar bukan hanya perintah kerja dari rumah, melainkan justru solusi dari pemerintah atas konsekuensi tersebut. Contohlah Spanyol, yang perdana menterinya mengumumkan paket kebijakan senilai 200 miliar euro untuk membantu perusahaan dan melindungi pekerja serta kelompok rentan yang terdampak krisis virus corona. Spanyol akan mengalokasikan 117 miliar euro dari anggaran negara dan sisanya dari perusahaan swasta. Spanyol akan membayar tunjangan bagi pekerja yang diberhentikan sementara dan menangguhkan pembayaran hipotek. Setengah dari dana juga akan dialokasikan untuk jaminan kredit perusahaan.
Selandia Baru pun memiliki kebijakan untuk merespons dampak ekonomi dari kebijakan mengurangi mobilitas warganya senilai 12,1 miliar dolar AS. Dana itu akan digunakan untuk subsidi gaji bagi perusahaan sehingga tidak memecat karyawan sebesar 5,1 miliar dolar AS. Dana sebesar 500 juta dolar akan disalurkan ke sistem kesehatan untuk menangani virus corona. Bahkan, Selandia Baru mengalokasikan 126 juta dolar AS untuk membiayai cuti dan isolasi mandiri. Perdana Menteri Selandia Jacinda Ardern juga tidak melupakan kelompok rentan dengan memberikan dana 2,8 miliar dolar AS. Dana senilai 2,8 miliar dolar AS juga akan disalurkan untuk mengganti pajak bisnis Kiwi yang terdampak.
Indonesia memang negara dengan jumlah penduduk besar dan kepulauan. Namun, kami ingin mendengar langkah konkret dari pemerintah untuk mengatasi virus corona. Berapa anggaran yang dialokasikan untuk rumah sakit mengatasi corona? Berapa anggaran subsidi untuk pekerja yang kehilangan pekerjaan? Jika kemarin ramai influencer akan dibayar Rp 72 miliar, hingga hari ini kita justru belum mendengar berapa anggaran untuk rumah sakit dan penelitian untuk menangani wabah virus corona.
Solusi untuk menangani wabah virus corona memang tidak hanya soal anggaran, tetapi juga kesiapan kita sebagai warga negara bersama menghadapi corona. Namun, sekelas presiden sudah selayaknya tidak lagi berbicara tentang kebijakan mengurangi kerumunan dan cuci tangan, tetapi apa dan bagaimana sumber daya negara dialokasikan untuk menangani wabah virus corona. Dengan begitu, kami bisa sedikit tenang bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah karena negara mengambil peran memenuhi kebutuhan dasar atas penghidupan dan kesehatan.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id