REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Gun Gun Heryanto*
Dunia lagi berduka. Wabah virus korona melanda dunia dan menginfeksi umat manusia. World Health Organization (WHO) menetapkan corona sebagai pandemik. Indonesia juga menetapkan pandemik Covid-19 ini sebagai bencana nasional sejak Sabtu (14/3).
Pemberitaan media arus utama dan gosip di ragam linimasa medsos dihebohkan perbincangan seputar corona. Informasi berbaur, antara fakta, hoaks bahkan propaganda, dan seolah membangkitkan luka lama yang terpelihara dalam memori kolektif “para petarung opini” di dunia maya.
Membenahi komunikasi
Wabah corona ini membawa dampak ikutan. Di bidang ekonomi, muncul ketidakpastian dunia usaha seperti anjloknya saham di berbagai negara, turun drastisnya pendapatan perusahaan, terjun bebasnya kurs mata uang. Banyak negara dibayangi krisis ekonomi.
Di bidang sosial, muncul perilaku kolektif seperti histeria massa. Warga panik dan memborong barang-barang di supermarket dan pasar. Kecurigaan satu sama lain meningkat seiring simpang-siurnya informasi wabah corona.
Politik pun terpapar wabah corona. Di tingkat elite, terasa sekali munculnya perebutan panggung publisitas yang memanfaatkan kejadian luar biasa atau lazim disebut sebagai tie-in publicity. Terlebih di basis akar rumput, polarisasi hidup kembali.
Realitas itulah yang mengharuskan kita berbenah dalam menghadapi bencana secara bersama-sama. Salah satu yang mesti dibenahi adalah problem komunikasi. Semua pihak harus memahami, pandemik corona ini sudah ditetapkan sebagai bencana nasional.
UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan, ada tiga jenis bencana, yakni bencana alam, non alam, dan bencana sosial. Bencana non alam itu contohnya wabah/pandemi.
Maka, tepat Indonesia menetapkan masa tanggap darurat bencana non alam pandemi covid-19. Merujuk WHO, pandemi merupakan penyakit yang menyebar ke banyak orang di beberapa negara dalam waktu bersamaan.
Ada tiga ciri umum pandemi versi WHO, yakni jenis virusnya baru, dapat menginfeksi banyak orang dengan mudah, serta bisa menyebar antar manusia secara efisien. Virus corona memiliki ketiga karakteristik itu.
Pembenahan komunikasi bencana pendemik harus komprehensif. Tiga faktor utama yang harus dibenahi yakni komunikasi kebijakan, kelembagaan komunikasi dan jaringan komunikasi bencana, strategi diseminasi dan respons dinamika isu yang berkembang.
Perspektif komunikasi dalam penanganan pandemik korona harus diletakkan dalam bingkai komunikasi bencana.
Bukunya Damon Coppola dan Erin K Maloney, Emergency Preparedness Strategies for Creating a Disaster Resilient Public (2009) mengatakan, manajemen bencana modern secara komprehensif mencakup empat komponen fungsional.
Pertama, mitigation yang mencakup reduksi atau mengeliminasi komponen risiko bahaya.
Kedua preparedness, yakni melengkapi masyarakat berisiko terkena bencana atau menyiapkan agar mampu membantu orang pada peristiwa bencana dengan berbagai alat/ perlengkapan untuk meningkatkan kemampuan bertahan dan meminimalisi risiko.
Ketiga, response, mencakup tindakan mengurangi atau mengeliminasi dampak bencana. Keempat recovery, mencakup perbaikan, rekonstruksi.
Dalam konteks inilah, wabah korona harus ditangani dengan manajemen bencana secara modern tadi. Di saat suasana penuh ketidaknyamanan dan ketidakpastian saat bencana menerpa, komunikasi menjadi kunci sekaligus bagian dari solusi.
Pertama, memperbaiki komunikasi kebijakan. Ini merupakan payung hukum berupa kebijakan publik yang menjadi kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah. Misalnya kita sudah memiliki UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pemerintah juga memiliki PP No 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Di sektor komunikasi, pemerintah memiliki Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik.
Problemnya, pemahaman bersama saat bencana tiba! Realitasnya penanganan komunikasi kebijakan masih buruk. Misalnya saat korona jadi momok dunia sejak Desember 2019, Indonesia terkesan kurang cepat merespons dan tak optimal berkomunikasi dengan rakyat.
Para pelaku komunikasi di garis depan seperti presiden, menteri kesehatan, kepala daerah gagap menanggapi isu terutama terkait kebijakan pemerintah yang sudah dan akan diambil dalam menangani pandemik korona.
Dalam mengomunikasikan kebijakan yang diambil saat ini dan ke depan, pemerintah harus lebih jelas, lebih logis dan lebih bisa dipahami masyarakat. Jangan menggunakan strategi komunikasi equivocal.
Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communication (1990), istilah ini memiliki makna pengemasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak lugas. Mengomunikasikan kebijakan jangan membingungkan!
Kedua, kelembagaan komunikasi juga wajib dibenahi. Presiden Joko Widodo sudah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Indonesia. Gugus tugas ini diketuai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo.
Pembentukan gugus tugas tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 yang ditandatangani 13 Maret 2020. Gugus tugas berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Untuk mengefektifkan komunikasi dengan publik, terutama media massa, pemerintah sudah membentuk Media Center Covid-19.
Pemerintah wajib mensinkronkan informasi antara pemerintah pusat dan daerah termasuk dalam menjelaskan kebijakan yang diambil maupun tidak diambil pemerintah. Jangan terkesan berebut panggung dan berujung saling menyalahkan.
Ketiga, memperbaiki diseminasi informasi dalam merespons dinamika isu yang berkembang. Yang harus dioptimalkan dalam diseminasi bukan semata soal angka orang yang terpapar positif corona, yang meninggal atau sembuh.
Tetapi juga harus mengurai langkah-langkah berbasis kebijakan pemerintah untuk membatasi dan menghilangkan laju pandemik corona. Sekaligus mendiseminasikan solusi kongkret pemerintah dalam merespons ragam persoalan ikutan dari pandemik ini.
Merespons dinamika isu pandemik corona ini harus dengan data akurat, estimasi yang tepat serta berorientasi pada tumbuhnya kepercayaan publik. Ingat, yang paling utama di saat bencana adalah modal sosial bernama kepercayaan!
* Penulis adalah Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta