REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema
Penanganan Covid-19 ditandai pro dan kontra yang sangat tajam antar sesama komponen bangsa. Mungkin anda menganggapnya sangat lumrah karena kita merupakan sebuah bangsa yang majemuk baik dari sisi agama, suku, bahasa, maupun orientasi politik. Namun Covid-19 begitu cepat menular dalam skala eksponensial. Tak lama lagi, jumlah orang yang positif tertular virus ini akan mencapai ribuan. Entah berapa ratus yang akan meninggal. Semoga saja tidak.
Ini adalah virus yang sangat menular dan belum pernah ada sebelumnya. Jadi pengalaman para petugas medis untuk menanganinya memang relatif terbatas. Bisa jadi kita memang tak memiliki ahli khusus untuk jenis virus ini. Yang kita miliki adalah ahli penyakit menular atau ahli virus dalam arti umum. Jadi kemampuan untuk menangani penyakit baru ini betul-betul murni dari proses learning by doing.
Karena itu, menjadi sangat wajar kalau semua pihak gagap dalam menghadapi persoalan yang semakin hari semakin menggulung. Italia dan Amerika Serikat saja dibuat kelimpungan.
Kunci penyelesaiannya terletak pada sejauh mana penularan dapat dihentikan. Itu berarti kita harus mengandalkan diri pada kepatuhan masyarakat untuk tetap berada di rumah dan tidak terlibat dalam kerumunan masa. Rumah ibadah, pusat perbelanjaan, kantor, pertemuan, perjamuan dan pusat hiburan harus dikosongkan sementara. Pertanyaannya, apakah rakyat akan patuh?
Nah di sinilah perlunya rekayasa sosial diberi peran, karena Covid-19 bukan sekedar masalah medis tetapi lebih luas lagi sudah merupakan masalah yang pemecahannya memerlukan totalitas peran serta seluruh masyarakat. Salah satu tata kerja yang sudah terbukti ampuh adalah penerapan behavioral economics.
Di sini saya tidak akan menerangkan apa itu behavioral economics. Silakan Anda googling sendiri. Saya hanya akan memaparkan tiga hal yang relevan yakni bounded rationality, nudge, dan loss aversion.
Teori mengenai bounded rationality mengatakan seseorang akan mengambil tindakan sejalan dengan bingkai rasionalitas yang dia fahami atau percayai. Contoh kongkritnya adalah Jokower (pendukung Jokowi) akan selalu mengamini apa yang dikemukakan oleh Jokowi. Sebaliknya, hater akan cenderung menganggap salah apa pun yang dilakukan oleh Jokowi.
Prabower (pendukung Prabowo) menganggap perintah Menhan kepada TNI untuk mengangkut peralatan medis dari Cina sebagai suatu hal yang sangat patriotis. Padahal sampai saat ini mereka tetap alergi terhadap Cina. Begitupun pendukung Anies Baswedan selalu memberi pembenaran terhadap gubernurnya walaupun dalam satu dua kasus dikoreksi sendiri oleh sang gubernur.
Pemuka agama juga sempat terbelah. Ada yang mengatakan Covid-19 adalah tentara Allah untuk menghancurkan rezim yang menganiaya umat Islam di negeri tirai bambu. Padahal, semua agama sekarang terjangkiti virus Corrona. Ada juga yang mengatakan penghentian peribadatan masal seperti sholat jumat dan misa hari minggu sebagai bentuk konspirasi untuk memusnahkan agama dari muka bumi.