REPUBLIKA.CO.ID, NOTTINGHAM -- Studi yang digagas China di awal wabah mendapati rendahnya angka diagnosis Covid-19 pada anak-anak. Tim peneliti China memeriksa hasil infeksi pada lebih dari 2.000 anak yang terkonfirmasi serta diduga terjangkit Covid-19.
Lebih dari separuh anak mengalami gejala seperti pilek atau tanpa gejala sama sekali. Kondisi kritis di mana kadar oksigen tubuh sangat rendah dan ancaman di berbagai organ hanya terlihat pada sekitar lima persen anak.
Anak dari usia termuda, yaitu di bawah satu tahun, tercatat sebagai yang paling berisiko. Masih ada kesenjangan signifikan dalam analisis tersebut, namun penelitian menegaskan bahwa kebanyakan infeksi Covid-19 pada pasien anak terbilang ringan.
Penutupan sekolah pun diyakini sebagai cara paling efektif untuk mengurangi penyebaran virus. Studi lain di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 38 persen dari 508 pasien corona yang dirawat di rumah sakit berusia antara 20 sampai 54 tahun.
Hampir setengahnya berusia paruh baya sampai 65 tahun, sedangkan pasien di bawah usia 19 tahun hanya sekitar satu persen. Meski begitu, Jonathan Ball dari Universitas Nottingham di Inggris menyarankan untuk tidak menyepelekan virus yang penyebarannya sangat cepat tersebut.
Dia meminta masyarakat tidak menganggap pandemi corona hanya mengancam orang yang lebih tua. Mereka yang lebih muda dan anak-anak memang punya risiko lebih kecil meninggal dunia akibat corona karena gejala yang relatif ringan. Di sisi lain, itu dapat membuat mereka menjadi pembawa virus (carrier) yang lebih sulit dikenali.
"Gagasan bahwa coronavirus hanya mengancam orang yang lebih tua adalah penyederhanaan yang berlebihan," kata Ball yang merupakan profesor di bidang virologi molekuler, dikutip dari laman The Guardian.