REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan, orang menjadi bertanya-tanya tentang kemungkinan virus corona tipe baru dapat menular melalui udara (airborne). Diskusi soal itu mengemuka seiring dengan menyebarnya pesan berantai yang menyebut bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengonfirmasikan virus itu airborne dan mampu bertahan di udara selama delapan jam, bergantung pada kondisi.
Kabar itu dilengkapi dengan seruan untuk selalu memakai masker ke mana pun beraktivitas. Selain itu, virus corona penyebab penyakit Covid-19 itu juga disebut bisa hidup di permukaan benda yang terbuat dari tembaga maupun baja selama dua jam dan bertahan di kertas ataupun plastik selama tiga sampai empat jam.
Benarkah begitu? Studi terbaru mengungkapkan bahwa virus yang dinamakan SARS-CoV-2 itu memang bisa bertahan di udara dalam kondisi tertentu. Namun, hingga saat ini belum ada bukti yang kuat bahwa Covid-19 dapat menular melalui udara dalam kondisi alami, seperti patogen penyebab tuberkulosis, rubela, dan influenza.
"Sampai saat ini bukti untuk airborne belum kuat, apalagi di negara tropis seperti Indonesia," ungkap spesialis penyakit dalam dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH MMB FINASIM FACP kepada Republika.co.id.
Ari mengatakan, wilayah Indonesia masih mendapatkan banyak sinar matahari dan memiliki suhu udara di kisaran 30 derajat Celsius. Dalam kesempatan berbeda, Ari sempat menjelaskan bahwa virus penyebab Covid-19 yang terpapar di suhu udara 30 derajat Celsius akan mati dalam 30 menit.
"Faktanya, virus ini ketika ada di udara panas 30 derajat (Celsius), dalam 30 menit akan mati, hilang," ungkap Ari dalam seminar awam mengenai Covid-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, beberapa waktu lalu.
Ari melanjutkan, yang masih menjadi pertanyaan adalah potensi penularan melalui udara di dalam ruang tertutup dan di udara dingin. Potensi penularan melalui udara di rumah ibadah yang berpendingin ruangan juga perlu diwaspadai.
"Klaster-klaster yang ada seperti tertular di gereja atau masjid bisa menjadi indikasi penularan melalui airborne," kata Ari.
Sementara itu, Prof Herawati Sudoyo selaku peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyerukan masyarakat untuk tidak panik saat mendengar informasi penyebaran virus corona bersifat airborne. Ia mengingatkan bahwa virus baru ini masih misterius, masih terus dipelajari oleh seluruh ilmuwan dunia.
"Kita jangan langsung panik dan berpikir udara kita penuh virus,” ujar Hera dalam live Instagram dengan Dimas Beck, Ahad (22/3).
Sebetulnya, apa kata WHO soal virus corona dan risiko airborne ini? WHO mengungkapkan bahwa Covid-19 menular melalui droplet alias percikan liur dari orang-orang yang terinfeksi oleh virus corona ketika mereka batuk atau bersin.
Droplet yang disemburkan penderita Covid-19 berukuran besar, berdiameter 0,125 mikrometer, sehingga tak cukup ringan untuk melayang lama dan jauh di udara. Paling jauh, lontarannya sekitar satu atau dua meter.
Partikelnya akan melayang sebentar sebelum akhirnya jatuh ke permukaan benda di sekitar penderita. Belum ada bukti bahwa penularan lewat udara bisa terjadi di lingkungan alami. Itu sebabnya mencuci tangan menjadi saran utama pencegahan tertular Covid-19.
Di lain sisi, dalam prosedur medis di rumah sakit yang menghasilkan aerosol, penularan secara airborne mungkin saja terjadi. Penjelasannya sederhana. Kepala Unit Penyakit Emerging dan Zoonosis WHO Dr Maria Van Kerkhove menyebut, akibat prosedur medis, partikel droplet virus corona dapat menjadi aerosol, yakni partikel halus yang dapat bertahan lama di udara.
"Aerosol artinya partikel virusnya bisa bertahan di udara sedikit lebih lama," kata Kerkhove, seperti dilansir CNBC.
Salah satu contoh prosedur medis yang menghasilkan aerosol ialah proses intubasi. Saat pemasangan alat bantu napas itu, pasien bisa saja mengeluarkan sekret pernapasan dan aerosol.
Sementara itu, perawatan pasien Covid-19 yang sedang dalam kondisi kritis di ruang isolasi bertekanan negatif dengan pintu yang tertutup rapat dapat mencegah penyebaran virus melalui udara. Kerkhove pun mengimbau agar para petugas kesehatan yang menangani kasus Covid-19 menerapkan upaya pencegahan tambahan ketika menangani pasien dalam kondisi demikian untuk mengantisipasi kemungkinan penularan lewat udara di rumah sakit.
Kerkhove mengatakan, saat ini panduan yang telah dikeluarkan WHO sudah cukup tepat. Salah satunya adalah anjuran bagi petugas kesehatan yang menangani kasus Covid-19 untuk menggunakan masker N95 yang dapat menyaring 95 persen partikel cair dan airborne.
"Di fasilitas kesehatan, kami memastikan petugas menggunakan standar pencegahan penyebaran droplet. Namun, ketika petugas medis melakukan prosedur yang menciptakan aerosol, mereka perlu melakukan upaya pencegahan penularan melalui udara," kata Kerkhove.
Lingkungan buatan
Menurut laman Daily Examiner, di dalam laboratorium studi oleh US National Institute of Allergi and Infectious Diseases, kondisi lingkungan buatannya sangat spesifik. Peneliti membuatnya sangat artifisial untuk skenario terburuk penyebaran virus corona.
Kenyataannya, di lingkungan buatan seperti itu pun partikel virus corona berjatuhan dari udara dalam tempo 2,7 jam. Dalam satu hari, tak ada virus yang bertebaran di udara.
Untuk memungkinkan transmisi lewat udara, virus membutuhkan kondisi khusus agar bisa melayang. Di lingkungan alami, suhu udara dan kelembapan menjadi penjegal.
"Kalau memang virus corona bisa dengan mudah menjadi aerosol, pastinya kita akan melihat angka penularan dengan level yang lebih dahsyat, misalnya ketika orang bisa tertular hanya karena satu lift dengan penderita Covid-19," ungkap pakar epidemiologi Michael LeVasseur kepada media kedokteran STAT.
Aerosol box ala dokter Taiwan
Seorang dokter di Taiwan pada Sabtu (21/3) memperkenalkan desain alat bantu yang dapat lebih melindungi dokter ketika memasang intubasi pada pasiennya. Alat yang disebut aerosol box tersebut diklaim cukup menjanjikan di tengah keterbatasan pasokan alat pelindung diri.
Melalui halaman Facebook-nya, Lai Hsien-yung, dokter anestesi dari Mennonite Christian Hospital, Taiwan, mengungkapkan keterkejutannya ketika mendapati adanya permintaan pengadaan boks aerosol dari dokter-dokter di AS. Sejatinya, alat itu hanyalah kotak dari plastik transparan yang salah satu sisinya dibiarkan terbuka agar leher dan dada pasien bisa masuk, sementara sisi yang berlawanan dilengkapi dengan dua lubang kecil yang menjadi tempat masuk tangan dokter.
Boks aerosol itu didesain agar dokter bisa memasang alat bantu napas (intubasi) dengan perlindungan yang lebih baik terhadap risiko terpapar partikel aerosol yang disemburkan dari aliran napas pasien saat prosedur tersebut dilakukan. Menurut Lai, pengrajin akrilik bisa membuat kotak itu dalam tempo 30 menit dengan biaya sekitar Rp 1 juta.
Lai tak berniat mematenkan inovasinya. Namun, dia telah mendaftarkan kotak aerosol itu ke lisensi Creative Commons. Masyarakat dibebaskan untuk memproduksinya selama mencantumkan keterangan selayaknya tentang sang inventor.