REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*)
Tahun 2020 baru berlangsung selama tiga bulan. Tetapi, selama tiga bulan itu pula banyak berita yang menyesakkan dada. Salah satunya virus corona (covid-19). Setelah bercanda dan sangat percaya diri Indonesia tidak terdapat virus ini, di awal Maret satu per satu kasus pun mencuat. Di mulai dari Depok, Jawa Barat dan tak sampai satu bulan sudah menyebar hampir ke seluruh Indonesia.
Lalu kematian pertama gara-gara virus corona pun terjadi. Bukan dari Depok atau Jakarta tetapi dari pulau Dewata, Bali. Seorang pasien perempuan berusia 53 tahun yang merupakan warga negara asing diketahui positif mengidap virus corona dan meninggal dunia.
Disebutkan, pasien sudah masuk ke rumah sakit dengan penyakit bawaan seperti diabetes, hipertensi, hipertiroid, dan penyakit paru obstruksi menahun yang sudah cukup lama diderita. Jenazahnya pun langsung dikirim ke negaranya.
Setelah kasus kematian pertama covid-19, kasus-kasus kematian pun mulai bertambah. Angkanya juga tak pernah rendah. Setiap hari, saya selalu merasa sedih ketika membaca atau mengedit berita penambahan warga yang meninggal karena covid-19.
Saya hanya bisa membayangkan proses yang harus dilalui pasien. Mulai dari merasa baik-baik saja, mulai bergejala ringan, berusaha dirawat ke rumah sakit rujukan, mungkin harus antre panjang atau bahkan ditolak, dirawat seadanya karena Alat Pelindung Diri (APD) tenaga kesehatan yang kurang atau infrastruktur rumah sakit yang belum mumpuni dan kendala teknis yang lain, keluarga yang tak bisa datang menjenguk, dan mati sesak sendiri di kamar isolasi.
Belum lagi ketika dimakamkan, jenazah pasien harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan untuk mencegah penyebaran covid-19. Jenazah harus dibungkus plastik atau peti, tidak bisa dimandikan, harus dimakamkan maksimal empat jam sejak waktu kematian, dan lagi-lagi tidak ada keluarga yang mendampingi sampai di kuburan.
Itu baru persoalan personal, belum persoalan sosial yang harus diderita pasien dan keluarga. Misalnya, penolakan dari warga, stigma negatif terhadap pasien dan keluarga, bahkan penolakan pemakaman jenazah covid-19.
Saya lalu memahami ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di depan publik. Meski pada akhirnya suaranya yang bergetar tak bisa menutupi kesedihan kehilangan 283 warganya sendiri.
Anies pada Senin (30/3) meminta seluruh warga DKI Jakarta untuk tidak memandang angka 283 sebagai angka statistik semata. "Itu adalah warga kita yang bulan lalu sehat, yang bulan lalu bisa berkegiatan mereka punya istri punya saudara dan ini harus kita cegah pertambahannya dengan secara serius melakukan pembatasan. Tinggalah di rumah disiplin untuk menjaga jarak, lindungi diri, lindungi keluarga, lindungi tetangga, lindungi semua. Jangan sampai Dinas Pertamanan dan Hutan Kota yang mengurusi ini punya angka yang lebih tinggi lagi,” katanya dengan suara bergetar.
Saya lalu teringat kalimat yang dilontarkan Sherlock Holmes dalam salah satu episodenya. Ia mengatakan bahwa kematian itu bukan sesuatu yang terjadi pada dirimu, tetapi kematianmu terjadi pada orang lain. Ada orang lain yang mengurusi kematianmu, menangisi kepergianmu, dan akan merindukanmu.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id