Rabu 01 Apr 2020 08:17 WIB

Compang-Camping Sustainable Fashion Jepang

Sustainable fashion berciri compang-camping diperkenalkan Boro asal Jepang.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Boro, praktik tekstil tradisional Jepang utara yang usianya berabad-abad, menggunakan sumber daya terbatas untuk tujuan bertahan hidup dan fungsionalitas (Foto: ilustrasi sustainable fashion)
Foto: Wikipedia
Boro, praktik tekstil tradisional Jepang utara yang usianya berabad-abad, menggunakan sumber daya terbatas untuk tujuan bertahan hidup dan fungsionalitas (Foto: ilustrasi sustainable fashion)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Prinsip mode berkelanjutan sejatinya sudah ada sejak zaman nenek moyang. Boro, praktik tekstil tradisional Jepang utara yang usianya berabad-abad, menggunakan sumber daya terbatas untuk tujuan bertahan hidup dan fungsionalitas.

Dalam bahasa Jepang, boro berarti sobekan kain atau compang-camping. Seperti namanya, pakaian maupun kerajinan boro dibuat dengan menyatukan potongan-potongan kain, sehingga limbahnya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali.

Baca Juga

Para perempuan Jepang yang membuat kain ini ratusan tahun silam tentunya tidak memiliki sumber daya luas atau terpapar pengetahuan global. Meski demikian, teknik mereka sejajar dengan apa yang saat ini diterapkan perancang busana berkelanjutan

Organisasi nirlaba Japan Society mengusung boro dalam pameran di New York, Amerika Serikat. Pameran "Boro Textiles: Sustainable Aesthetics" menampilkan lebih dari pakaian boro, koleksi pribadi antropolog budaya Chuzaburo Tanaka.

Ada jaket, sarung tangan, serta selimut berbahan kain rami tebal, lazimnya dibuat para perempuan untuk pria yang harus bertani dalam cuaca musim dingin. Prinsip boro adalah menggunakan bahan apa saja yang tersedia.

"Mereka menciptakan ini untuk bertahan hidup. Meskipun begitu, kita dapat melihat begitu banyak kreasi dan kreativitas yang mereka gunakan dengan sumber daya terbatas," ujar Direktur Galeri Japan Society, Yukie Kamiya, dikutip dari laman Green Queen, Rabu (1/4).

Menurut dia, belajar dari apa yang dilakukan nenek moyang amat penting. Setelah sekian lama mode mengeksploitasi sumber daya dunia dan menyebabkan gangguan ekologi massal, ini saatnya memanfaatkan apa yang tersisa, mendaur ulang menjadi pakaian fungsional.

Kamiya mengatakan, banyak orang perlu diingatkan untuk membuat karya baru yang tidak kalah indah dari bahan-bahan bekas. Proses itu memang membutuhkan pemikiran cermat tentang penggunaan sumber daya, tapi dampak baiknya untuk lingkungan pun setimpal.

Mengacu data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), industri mode global bertanggung jawab atas lebih dari 10 persen emisi karbon di dunia. Dengan proyeksi saat ini, industri terus tumbuh dan diprediksi memicu 24 persen emisi karbon pada 2050.

Belum lagi jumlah limbah gila-gilaan dari industri tersebut. Setiap tahun, fashion menghasilkan sekitar 92 juta ton limbah serta menyumbang 20 persen polusi air sebagai akibat dari penggunaan massal pewarna beracun dan pemutih.

Menghadapi potensi krisis iklim, para desainer dan jenama mode kini berupaya mewujudkan etika berkelanjutan, sesuatu yang sejak lama sudah melekat pada tekstil boro Jepang. Sejumlah merek berinisiatif meluncurkan produk dengan campuran bahan daur ulang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement