REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dradjad H Wibowo, Ekonom Senior Indef, yang juga Ketua Dewan Pakar PAN
Menghadapi wabah Covid-19, pemerintah memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sesuai UU 6/2018. Jika langkah ini gagal, darurat sipil sesuai Perppu 23/1959 menjadi opsi pamungkas. Lockdown (karantina wilayah) tidak ada. Keputusan ini langsung memicu kontroversi publik, terutama dari sisi hukum tata negara dan politik.
Pemerintah juga menyiapkan rancangan perppu nomor 1/2020 terkait keuangan negara, stabilitas keuangan, dan perekonomian. Peraturan ini disertai dengan tambahan anggaran Rp 405,1 triliun, termasuk Rp 75 triliun untuk kesehatan.
Saya tidak akan ikut perdebatan hukum dan politiknya. Saya akan fokus pada bidang kesehatan dan ekonomi karena memang negara perlu fokus ke program kesehatan sebagai ujung tombak, diintegrasikan dengan program pemulihan ekonomi nasional.
Dari sisi kesehatan, ada dua hal super-krusial yang harus dilakukan cepat, yaitu (1) pemutusan transmisi (penularan) SARS-CoV-2 dan (2) perawatan kesehatan bagi pasien Covid-19.
PSBB dan karantina sebenarnya bertujuan sama, yaitu memutus transmisi virus dengan cara “merampas” hak penduduk berinteraksi. Bedanya lebih pada skala “perampasan hak” tersebut serta pada kewenangan versus kewajiban negara.
Keduanya bisa jebol jika ada satu saja titik lemah dari sudut kesehatan. Darurat sipil pun sama.
Sebagai contoh, deteksi dini yang dilanjutkan dengan isolasi pasien dan identifikasi atau isolasi kontak adalah tahap awal yang sangat penting dalam memutus transmisi virus. Karena itu, jumlah tes SARS-CoV-2 harus dilipatgandakan secepat mungkin. Per Senin (30/3), jumlah tes di Indonesia masih sangat sedikit, baru 6.534.
PSBB, karantina, bahkan darurat sipil pun sulit berhasil jika jumlah tes corona sangat minim. Penyebabnya, banyak kasus positif yang tidak terdeteksi yang bisa menularkan virus, minimal ke keluarga dan tetangganya. Faktor lain seperti edukasi publik, ketersediaan fasilitas sanitasi, atau disiplin dan budaya kebersihan juga bisa menjadi titik lemah jika tidak ditangani maksimal.
Pelayanan kesehatan juga perlu belanja besar-besaran. Apalagi, tingkat kesembuhan pasien Covid-19 di Indonesia masih rendah, malah jauh di bawah jumlah yang meninggal. Sementara itu, jumlah PDP yang meninggal juga banyak. Hal ini masalah sangat serius.
Mau PSBB atau darurat sipil ya percuma jika rumah sakit hanya punya sedikit ventilator, ruang isolasi, APD, dan lainnya. Jadi, sudah saatnya negara memobilisasi pabrik-pabrik untuk memproduksi ventilator, tempat tidur rumah sakit, masker, hazmat suit, sarung tangan, disinfektan, dan sebagainya dalam jumlah yang cukup.
Obat-obatan juga perlu disediakan dalam jumlah besar. Ada 4 obat atau kombinasi obat yang diuji coba WHO melalui solidarity trial, yaitu, remdesivir, klorokuin atau hidroksiklorokuin, kaletra (kombinasi lopinavir + ritonavir), dan kaletra + interferon beta.
Indonesia juga perlu berinvestasi untuk menemukan dan memproduksi vaksin sendiri. Pasalnya, untuk mencapai herd immunity setidaknya 163 juta rakyat harus divaksinasi. Biaya vaksinasi bisa terlalu besar jika kita impor.
Perppu 1/2020
Secara prinsip kita memang memerlukan perppu untuk menghadapi wabah ini. Rancangan perppu 1/2020 dan tambahan anggaran Rp 405,1 triliun merupakan langkah awal yang baik, termasuk Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan. Apakah cukup? Ini bergantung pada skala wabah.
Namun, saya menyayangkan, perppu ini hanya mencakup keuangan dan ekonomi. Sisi kesehatannya hanya menjadi latar belakang.
Berikut ini evaluasi awal saya.
1. Rancangan perppu 1/2020 membuka pemberian fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk untuk barang impor dalam rangka mengatasi Covid-19. Hal ini bagus karena barang seperti sebagian obat masih harus diimpor.
Masalahnya, mengapa tidak ada perintah mobilisasi produksi dalam negeri dan investasi penemuan vaksin? Mengapa tidak ada fasilitas/insentif bagi kedua hal ini? Soal vaksin, misalnya, industri farmasi, universitas, dan lembaga riset biologi kan bisa didorong untuk menemukan vaksin dan obat?
Bukankah wabah Covid-19 membuka peluang membangun sektor kesehatan dan industri terkaitnya?
2. Rancangan perppu 1/2020 memberi tambahan kewenangan yang sangat besar kepada para menteri, para anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dan jajaran terkait.
Mekanisme kontrolnya hanya “dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik” (pasal 12 ayat 1). Itu pun hanya untuk pasal 2 sampai 11. Sementara itu, untuk tambahan kewenangan BI, OJK, dan LPS, tidak ada kontrol yang eksplisit.
Siapa yang menjamin tidak terjadi penyimpangan seperti dalam kasus BLBI dan Bank Century? Mengapa pengawasan oleh publik dan DPR tidak disebut eksplisit?
3. Pasal 11 memberi kewenangan pemerintah melakukan bailout melalui penyertaan modal negara, penempatan dana dan atau investasi pemerintah, dan atau kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan mekanisme kontrol yang lemah, pasal 11 ini bisa menjadi cek kosong bagi bailout terhadap pihak tertentu. Besaran bailout-nya pun tidak ada rambu-rambu terperincinya.
4. Setelah itu semua, pasal 27 mengandung ayat:
Ayat 1: “Biaya yang dikeluarkan ... bukan merupakan kerugian negara”.
Ayat 2: “Anggota KSSK ... tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik ....”
Ayat 3: “Segala tindakan ... bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.”
Jadi, kewenangan bertambah drastis, mekanisme kontrol lemah. Setelah itu, apa pun yang dilakukan “ditowel pun tidak bisa”.
Saya mengikuti berbagai krisis sejak 1998, baik sebagai ekonom, anggota DPR, maupun unsur pimpinan parpol. Saya sepakat bahwa pejabat terkait memerlukan proteksi hukum. Namun, itu bukan berarti tanpa kontrol dan akuntabilitas yang ketat.
Jadi, rancangan perppu ini perlu ditambah dengan mekanisme kontrol dan akuntabilitas yang ketat.