REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Hafil*)
Dalam kitab Ash-Shahihain diceritakan, suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab Ra mengunjungi negeri Syam. Dia kemudian bertemu dengan Abu Ubaidah dan sahabat-sahabat lainnya.
Dalam perbincangannya, mereka melaporkan kepada Umar, bahwa di Negeri Syam sedang diserang wabah penyakit, seperti wabah kolera. Perdebatan di antara mereka cukup hangat seputar masalah ini.
Meski demikian, Umar tak langsung mengambil keputusan langsung begitu saja. Beliau ingin bermusyawarah dengan mendengar masukan dari para sahabat-sahabatnya dan kaum Muslim saat itu.
"Panggillah orang-orang Muhajirin pertama!" perintah Umar.
"Saya sudah memanggil mereka, dan bahkan sudah berkonsultasi dengan mereka tentang pencemaran dan wabah yang sedang terjadi di negeri ini. Ujung-ujungnya, mereka berbeda pendapat dan pandangan," jawab Ibnu Abbas.
"Engkau keluar dari masalah ini!" Kami tidak tahu apakah engkau akan kembali mempedulikannya," kata salah seorang sahabat yang lain.
"Ada sahabat-sahabat yang lain, para sahabat Rasulullah pun juga ada. Kami sendiri tidak melihat mereka akan mendatangi wabah ini," kata sahabat yang lain.
"Cukup! jangan berdebat lagi. Kalau begitu pangil kaum Anshar kemari," kata Umar.
Akhirnya, mereka menghadirkan kaum Anshar dan meminta penjelasan dari mereka. Kaum Anshar juga demikian. Mereka berpendapat seperti halnya kaum Muhajirin. Saling berselisih pendapat.
"Sudahlah, akhiri perdebatan ini! Kalau begitu, sekarang hadirkan pembesar-pembesar Quraisy yang berhijrah di masa pembebasan Makkah," kata Umar.
Mereka kemudian dipanggil dan dihadirkan. Ternyata, tidak ada yang berdebat, kecuali dua orang saja. Dari ini tampak ada jalan terang.
"Menurut kami, engkau harus mengevakuasi orang-orang itu, dan jangan biarkan mereka mendatangi wabah ini," kata salah seorang pembesar Quraisy.
Umar bin Khattab lalu mengizinkan mereka.
"Wahai Amirul Mukminin, apakah ini lari dari takdir Allah?" tanya Abu Ubaidah.
"Mestinya orang selain engkau yang mengatakan itu, wahai Abu Ubaidah. Benar, ini lari atau berpaling dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain. Tidakkah engkau melihat, seandainya saja engkau memiliki unta dan lewat di suatu lembah dan menemukan dua tempat untamu; yang pertama subur dan yang kedua gersang. Bukankah ketika engkau memelihara unta itu di tempat yang subur, berarti itu adalah takdir Allah. Demikian juga apabila engkau memeliharanya di tempat yang gersang, apakah itu juga takdir Allah?" tanya Umar.
Abdurrahman bin Auf kemudian datang padahal sebelumnya dia tidak hadir dalam pertemuan itu. Karena, dia sedang mencari dan memenuhi kebutuhannya.
Abdurrahman lalu berkata, "Saya tahu tentang masalah ini. Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Jika kalian berada di suatu tempat (yang terserang wabah), maka janganlah kalian keluar darinya. Apabila kalian mendengar wabah itu di suatu tempat, maka janganlah kalian mendatanginya."
Dalam kondisi di tengah merebaknya wabah penyakit ini, Umar bin Khattab telah mengambil keputusan yang berbobot. Tujuannya tak lain adalah menyelamatkan lebih banyak kaum Muslimin dan manusia secara umum agar tidak dibinasakan oleh wabah penyakit.
Umar telah mempraktikkan sendiri apa yang pernah beliau ucapkan. Yaitu, nasihatnya ketika manusia menghadapi masalah. Pertama, menyelesaikan masalah dengan idenya yang justru semakin merusak. Kedua, menyelesaikan masalah dengan berkonsultasi dan memusyawarahkan kepada yang lebih ahli. Ketiga, bingung dan tidak menyelesaikan masalah, tetapi tidak mau mencari solusi dan tidak mau mendengar saran dan solusi orang lain."
Umar mengambil langkah kedua, dia bermusyawarah meminta pendapat para sahabat dari kalangan Anshar maupun Muhajirin. Intinya, dia melibatkan orang-orang yang dianggap memiliki keahlian karena yang dipanggil adalah para pemukanya. Apalagi, setelah Umar mendapat penjelasan dari salah seorang sahabat Nabi yang populer yaitu Abdurrahman bin Auf yang menyampaikan bagaimana petunjuk Nabi Muhammad ketika menghadapi wabah penyakit dan bagaimana menyelesaikan dan memutus mata rantai wabah penyakit itu.
Umar sama sekali tidak mengambil langkah pertama selaku orang yang mengambil keputusan yang merusak. Umar juga tidak mengambil langkah yang ketiga yaitu seorang yang bingung ketika menghadapi masalah.
Selain itu, Umar juga memberikan nasihat kepada kita. Bagaimana seorang pemimpin harus mengambil sikap yang tegas untuk menyelesaikan sebuah masalah. Untuk menyelesaikan masalah, seorang pemimpin juga sama sekali tidak diperbolehkan untuk menyepelekan suatu masalah. Karena, jika masalah itu disepelekan dan tidak diselesaikan, maka dampaknya akan terus menerus.
"Masalah tidak bisa diselesaikan, kecuali dengan ketegasan tanpa paksaan, dan dibarengi dengan cara lembut tapi tidak disepelekan,” begitu kata Umar.
Di sinilah bobot keputusan Umar yang sangat bagus untuk diteladani. Dan, ada satu lagi nasihat Umar dalam mempertahankan eksistensi sebuah negeri. Di mana, dia memilih orang-orang yang terbaik untuk membangun suatu daerah yang dipimpinnya agar tidak rusak.
Dikisahkan, ada suatu daerah yang nyaris hancur, padahal daerah itu sudah dibangun dan berkembang. Umar bin Khattab lalu ditanya, "Bagaimana bisa ada kampung yang hancur, padahal sudah dibangun kokoh dan berkembang?" Umar menjawab, "Jika para pembuat dosa lebih hebat dari pada orang-orang yang baik di daerah itu, kemudian pemimpin dan tokoh masyarakatnya adalah orang-orang munafik."
Di masa Umar, kemajuan Islam banyak dicapai. Dan, negeri-negeri di bawah kepemimpinan Umar sejahtera. Dan, negeri itu jauh dari kata kehancuran. Ini karena, Umar dalam memilih pemimpin bukan orang-orang yang munafik. Sehingga, kebijakan para kepala daerah/gubernur pilihan Umar, benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk mengutamakan kepentingan diri si pejabat atau kelompoknya.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id