REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari*
Kalau Anda tinggal di Jakarta dan sekitarnya mungkin Anda sudah menikmati kondisi alam yang sudah beberapa hari terakhir terjadi. Langit biru, awan putih, dan udara segar di pagi hari.
Kenikmatan persembahan alam tersebut bisa terjadi akibat keharusan pembatasan jarak fisik yang sudah memasuki pekan ketiga di Jakarta dan sekitarnya, juga di banyak kota besar lainnya di Indonesia. Faktanya memang kondisi polusi udara menurun cukup banyak.
Pada Rabu (2/4), kualitas udara Jakarta masuk peringkat ke 61 terburuk di dunia. Hari itu kualitas udara Jakarta berada di level hijau alias baik. Kualitas udara Jakarta yang baik itu berada di kategori yang sama dengan Kyoto, Osaka, dan Tokyo di Jepang. Juga selevel di kategori baik dengan Beijing. Termasuk banyak kota besar lainnya di Eropa dan Amerika.
Padahal hanya beberapa bulan sebelumnya, Jakarta kerap kali menduduki posisi kota dengan peringkat udara terburuk di dunia. Atau peringkat terburuk kedua dan tak jauh di bawahnya.
Ketika itu udara Jakarta terlihat abu-abu. Bernapas pun terasa nyaman karena polusi terasa lekat di hidung.
Kebijakan pembatasan jarak fisik atau physical distancing ternyata berdampak besar pada bumi. Ketika manusia dipaksa tidak keluar rumah dalam skala sangat besar atau hampir dilakukan oleh manusia di seluruh negara di dunia, maka bumi pun menikmati efeknya.
Pabrik yang tidak beroperasi, mobil dan motor yang terparkir di rumah, kendaraan publik yang operasinya terbatas terjadi di seluruh dunia. Sejak kebijakan lockdown diberlakukan para ilmuwan melihat penampakan di beberapa lokasi di Eropa dan Asia mengalami penurunan polusi udara.
Pusat Nasional Ilmu Atmosfer (NCAS) Inggris menemukan setitik partikel kecil sepertiga hingga setengahnya di London, Brimingham, Bristol, dan Cardiff. Polusi nitrogen dioksida juga menurun pada tingkat yang sama. NO2 biasanya diproduksi dari mesin mobil, pembangkit listrik, dan proses industri lainnya. Semua menjadi faktor terciptanya udara yang sehat.
Kebijakan lockdown di China bahkan lebih drastis lagi berdampak ke perbaikan kualitas udara. Pada 1-20 Januari 2020, level nitrogen dioksida di langit China terdata sangat tinggi. Namun, pada 10-25 Februari, jejak gas tersebut hampir tak terlihat.
Nitrogen dioksida adalah gas kuning-cokelat yang dipancarkan oleh kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan fasilitas industri. Gas ini dapat menyebabkan masalah pernapasan seperti batuk, asma, dan kesulitan bernapas. Ilmuwan NASA mengatakan, penurunan polusi udara awalnya paling terlihat di Kota Wuhan, tempat wabah itu pertama kali dimulai.
Udara dengan kualitas baik adalah rezeki bagi banyak orang. Mengapa saya bilang rezeki, karena kualitas udara yang buruk adalah penyebab anak-anak mudah batuk pilek. Apalagi bagi anak yang memiliki gangguan alergi.
Masalahnya sampai kapan kah langit biru, awan putih, dan udara segar itu bisa terus kita nikmati?
Faktanya, setelah kebijakan lockdown di Wuhan mulai diperlonggar kualitas udara Wuhan tidak lagi di kategori baik. Meski belum buruk dan ada di kategori moderat.
Seorang teman saya di Kota Huangzhou, China, mengatakan kualitas udara di kotanya dirasa mulai berubah sejak kebijakan lockdown diperlonggar. Teman saya sudah mulai bekerja kembali ke kantornya sejak beberapa hari terakhir. Sebelumnya ia sudah lebih dulu merasakan lockdown dari akhir Januari.
Kata teman saya itu, langit di kotanya tak sebiru dulu. Mungkin alasannya, makin banyak orang di kota tersebut yang sudah menggunakan kendaraannya untuk pergi termasuk pabrik-pabrik yang telah difungsikan kembali.
Di media sosial, fenomena langit biru dan lockdown ini disebut sebagai "cara Bumi melanjutkan hidupnya dan tetap indah." Seakan menjadi pesan dari Bumi ke manusia. "Udara, tanah, air, dan langit tanpa kalian akan baik-baik saja. Ketika kalian keluar dari sangkar nanti, ingatlah bahwa kalian adalah tamuku. Bukan tuanku."
Selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Virus corona jenis baru menyadarkan manusia tidak ada manusia yang tidak terancam nyawanya. Kaya, miskin, semua sama ketika berhadapan dengan virus corona jenis baru.
Karena itu manusia diajak berlomba-lomba berbuat baik dari rumah. Selama puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun lamanya, manusia sudah merusak Bumi. Mengakibatkan lapisan ozon berlubang, melakukan penambangan yang tidak bertanggung jawab, penggundulan hutan hingga menyebabkan habisnya mineral terkikisnya tanah dan mengakibatkan banjir.
Membangun pabrik yang hanya memikirkan kebutuhan manusia. Memikirkan ekonomi yang untungnya hanya demi manusia bukan kehidupan yang lebih luas lagi, telah merugikan Bumi. Terus memberi, Bumi kini akhirnya diberi kesempatan bernapas meski hanya sebentar.
Jadi sampai kapan kita bisa menikmati langit biru, awan putih, dan udara segar? Mungkin hanya dalam waktu singkat, sebelum manusia kembali menjadi penguasa Bumi. Dan pola kehidupan itu kembali berulang, saat manusia hanya hidup memikirkan dirinya sendiri dan tidak memikirkan nasib Bumi yang sudah memberinya banyak hal.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka dengannya ia mendapatkan pahala. Dan apa yang dimakan oleh binatang liar, maka dengannya ia mendapatkan pahala.” (HR Ahmad).
Saat wabah ini berakhir, apakah manusia akan kembali membawa kematian ke tanah dengan merusak Bumi yang dipijaknya?
*Penulis adalah redaktur Republika.co.id