Jumat 03 Apr 2020 00:58 WIB

Benarkah Tetap di Rumah Pilihan Tepat Hadapi Covid-19?

Covid-19 tak hanya isu kesehatan, berdampak ke banyak lini termasuk ekonomi.

Tetap produktif saat bekerja di rumah.
Foto: Republika.co.id
Tetap produktif saat bekerja di rumah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khansa Fairuz & Adam Adhe Nugraha, Bapernas dan Presnas FoSSEI 2019/2020

Di tengah maraknya pemberitaan terkait persebaran virus yang kini dinyatakan sebagai pandemi dunia, wabah covid-19 ini mendorong banyak pihak untuk mengambil peran. Salah satu tagar yang mencuat melalui edukasi masyarakat dari para ahli kesehatan adalah #StayAtHome.

Baca Juga

Tagar ini menganjurkan kepada masyarakat untuk tetap tinggal di dalam rumah untuk meminimalisasi probabilitas virus ini tertular dari satu orang ke orang yang lain apabila terlibat dalam suatu kerumunan yang sama. Dalam perspektif kesehatan, menghindari interaksi sosial dengan beraktivitas di rumah saja dapat meminimalisasi risiko penularan wabah.

Namun, tentu terdapat banyak biaya oportunitas yang harus dikorbankan, seperti kegiatan pendidikan, ekonomi, dan aktivitas masyarakat lainnya. Hal yang perlu diperhatikan dari social distancing ini adalah produktivitas masyarakat yang menjadi biaya oportunitas.

Beberapa pekerjaan masyarakat memang masih dapat dikerjakan secara remote di rumah masing-masing dengan memanfaatkan berbagai layanan daring. Namun banyak masyarakat dengan pekerjaan yang bersifat tidak dapat ditekuni secara daring. Justru pekerjaan tersebut terdiri dari profesi yang berpendapatan menengah ke bawah, seperti tukang sampah, penjual sayur keliling, dan ojek daring.

Upah harian yang didapatkan masyarakat yang bergerak di sektor tersebut tentu akan menjadi biaya oportunitas apabila mereka memilih untuk tetap tinggal di rumah. Di sisi lain, apabila tidak diambil tindakan cepat, justru mereka akan lebih rentan untuk tertular atau menyebarkan virus. Maka, anjuran untuk social distancing pada masyarakat kelas bawah tersebut tentu kurang tepat apabila tidak diiringi kompensasi atas biaya oportunitas yang timbul.

Kondisi ini juga semakin diperparah dengan adanya lonjakan harga-harga kebutuhan pokok di pasar. Bahan-bahan yang mengalami kenaikan harga secara derastis meliputi bawang bombai yang semula Rp 8.000 per kilogram menjadi Rp 250.000 per kilogram, cabai rawit yang semula Rp 25.000-Rp 30.000 per kilogram menjadi Rp 50.000 per

kilogram, dan telur ayam negeri yang semula Rp25.000,00 per kilogram menjadi Rp 28.000 per kilogram.

Secara teori, dengan asumsi pendapatan seseorang tetap, kenaikan harga bahan-bahan makanan ini dapat menyebabkan turunnya pendapatan riil yang menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Namun, dengan kondisi saat ini yang menurunkan produktivitas masyarakat, tentu pendapatan riil masyarakat juga akan semakin menurun.

Negara-negara di Benua Eropa yang sebelumnya telah melakukan lockdown, mengambil kebijakan dari berbagai bidang, termasuk ekonomi. Italia, sebagai negara Eropa yang memiliki pasien positif covid-19 terbanyak di Eropa, mengucurkan dana sebesar 25 miliar Euro untuk mengatasi konsekuensi ekonomi yang timbul akibat wabah Covid-19 ini.

Prancis memutuskan penundaan pembayaran pajak dan biaya sosial bagi perusahaan dan memberikan stimulus dari penurunan ekonomi yang rusak. Spanyol memutuskan cuti sakit bagi masyarakat yang melakukan self-isolated serta memberikan keringanan pajak yang divaluasi sebesar 14 miliar Euro injeksi ekonomi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement