Jumat 03 Apr 2020 14:33 WIB

Refleksi Menjadi NKRI, Via Mosi Integral M Natsir

Tanggal 3 April merupakan tanggal yang bersejarah bagi Bangsa dan Negara Indonesia.

Dr H M Hidayat Nur Wahid.
Foto: MPR RI
Dr H M Hidayat Nur Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR RI dan Wakil Ketua Majelis Syuro PKS.

Sesungguhnya 3 April merupakan tanggal yang bersejarah bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Di tanggal 3 April ini, tepatnya 70 tahun lalu, Bangsa dan Negara Indonesia kembali dapat lanjutkan cita-cita merdeka, hadirkan Negara Kesatuan Republik, bukan Negara Federal(Serikat) juga bukan Negara Kerajaan. Itulah yg disepakati oleh founding fathers, anggota, dan pimpinan PPKI, yang pada 18 Agustus 1945 mengesahkan UUD 1945, yang pada bab 1 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan Berbentuk Republik.

Yang demikian itu karena sebelum 3 April 1950, Negara Indonesia sempat dipecah belah oleh Belanda, melalui Konferensi Meja Bundar, 27 Desember 1949 bahwa Negara Indonesia yang diakui oleh Belanda adalah Republik Indonesia Serikat (RIS), dg UUD yg juga berubah, tidak lagi UUD 45, melainkan UUD RIS. Adalah Muhammad Natsir, Ketua Fraksi Partai Majelis Syuro Musmilin Indonesia (Masyumi), yang mengetuk hati nurani para anggota DPR RIS dan petinggi negara untuk setuju kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR), melalui Mosi Integral yang disampaikan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), pada 3 April 1950. Pidato M Natsir itu diterima oleh Bung Hatta sebagai Perdana Menteri RIS, dan kemudian oleh Bung Karno sebagai Presiden RIS. Sehingga nanti pada 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah (kembali menjadi) NKRI.

Peristiwa itu memang seakan terlupakan dalam sejarah parlemen, dan sejarah bangsa Indonesia. Bahkan, belum ada Presiden Republik Indonesia dalam sejarah Indonesia, termasuk Presiden Joko Widodo, pascakembalinya bentuk Negara Kesatuan, mengapresiasi yang tinggi keberanian dan kenegarawanan mengembalikan Indonesia menjadi NKRI itu dengan menetapkan 3 April sebagai “Hari NKRI”. Namun, sebagai negara yang besar, yang diajarkan oleh Bung Karno Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya, kita tentu perlu selalu melakukan refleksi perjalanan bangsa Indonesia (termasuk peristiwa mosi integral) ini sebagai pelajaran dan sekaligus inspirasi untuk kondisi saat ini ketika kesatuan Bangsa Indonesia diteror oleh wabah virus Covid-19.

Lalu, pelajaran apa yang bisa kita ambil?

Pertama, konsep Negara Kesatuan untuk negara Maritim atau Kepulauan tentu lebih menyatukan dan memberdayakan bangsa Indonesia, dibanding konsep Negara Serikat (federal/serikat) maupun negara Kerajaan. Spirit dan prinsip Kesatuan Bangsa saat ini sangat dibutuhkan untuk sama-sama berkolaborasi, saling menguatkan untuk  memerangi wabah virus Covid-19, dan menyelamatkan prinsip Republik Indonesia Negara Kesatuan yang gara-gara penanganan masalah corona menjadi terkesan adanya ketidak-kompakan pemerintahan pusat dan daerah. 

Konsep Negara Kesatuan tentu juga berbicara antara hubungan Pusat dan Daerah yang saling mendengarkan-menghormati, dimana Pemerintah Pusat sebagai pempimpin utama mendengarkan masukan Pemerintah Daerah, dan mempedulikan kondisi di daerah-daerah. Sebaliknya Pemerintah Daerah juga menghormati keputusan Pemerintah Pusat, dalam proaktifnya memperjuangkan kemaslahatan daerahnya. 

Indonesia memang bukan negara federal seperti Amerika Serikat, dimana pemerintah daerah (negara bagian) dapat memutuskan kebijakan lockdown di daerah, walaupun beberapa pemimpin daerah memutuskan hal tersebut secara sepihak. Sikap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang tidak memaksakan lockdown atau karantina wilayah sebenarnya patut ditiru. Walau berulangkali permohonan beberapa kebijakannya ditolak oleh pemerintah Pusat, tetapi Anies tetap taat dan mengikuti sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Situasi ini tentu harus diiringi dengan sikap kebijaksanaan Pemerintah Pusat untuk mendengarkan permohonan kebijakan dari Pemerintah Daerah, karena mereka tentu juga bertanggung jawab atas keselamatan warganya. Dan bahkan oleh Konstitusi, melalui Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4, jelas sekali Negara/Pemerintah Pusat diwajibkan untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Jargon Bersatu Melawan Corona yang sangat digaungkan belakangan, seharusnya dimuai dari kesadaran konstruktif itu, yakni hubungan Pusat dan Daerah dlm NKRI yang lebih tertata serta saling melindungi, mendukung dan menghormati. Seperti peristiwa diterimanya Mosi Integral. Ada aspirasi dari daerah-daerah atau kawasan-kawasan serikat, diperjuangkan oleh wakil Rakyat M Natsir di Parlemen dan Pemerintah atau Presiden dan Perdana Menteri menerima. Selamatlah Indonesia, gagallah konspirasi Belanda denga RIS-nya, dan malah negara Indonesia dapat kembali pada cita-cita kemerdekaannya, NKRI.

Kedua, Mosi Integral Natsir juga berbicara tentang aspirasi atau kehendak rakyat. Banyak orang yang berpandangan bahwa Mosi Integral yang disampaikan Natsir mungkin hanya “sekadar” mengganti dasar negara dari konsep federalisme (Republik Indonesia) ke konsep unitarianisme (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Padahal, apabila kita membedah lebih dalam Pidato Natsir, urusannya bukan sekadar itu, tetapi bagaimana meneruskan keresahan di kalangan masyarakat ketika itu dengan munculnya beberapa negara bagian boneka buatan Belanda di dalam RIS. Berikut adalah cuplikan Pidato M Natsir:

(....) Orang yang setuju dengan mosi ini tidak usah berarti, bahwa orang itu unitaris, orang federalispun mungkin juga dapat menyetujuinya. Sebab soal ini sebagaimana saya katakan, bukan soal teori struktur negara unitarisme atau federalisme, akan tetapi soal menyelesaikan hasil dari perjuangan kita masa lampau yang tetap masih menjadi duri dalam daging. Tiap-tiap orang yang meneliti jalan persengketaan Indonesia -Belanda, tentu akan mengetahui bagaimana riwayat timbulnya Negara Sumatera Timur (NST). Dan bagaimana fungsinya NST itu. Walaupun bagaimana juga ditimbang, ditinjau dan dikupas, tetapi rakyat dalam perjuangannya melihat struktur itu sebagai bekas alat lawan untuk meruntuhkan Republik Indonesia. Maka inilah yang menimbulkan reaksi dari pihak rakyat. Bukan soal teori unitarisme dan federalisme (....)

Sejak era Reformasi, kehendak rakyat Indonesia adalah demokrasi. Amanat ini tentu harus tetap dijaga oleh agar Indonesia tidak terjerumus kepada Orwellian (State) Nighmare, yang merujuk kepada Novel berjudul 1984 karya George Orwell (novelis Inggris kelahiran India yang ikut berperang melawan kelompok anti demokrasi, baik kelompok kiri/komunis maupun kelompok kanan/fasis), ketika suatu negara menjadi antidemokrasi dengan melakukan pengawasan setiap tindak tanduk warganya hingga melakukan propaganda menguasai atau menyembunyikan informasi.

Kita patut mengapresiasi dan bersyukur bahwa Presiden Joko Widodo saat mengeluarkan Perppu, batal mengambil penentuan Darurat Sipil untuk mengatasi Covid-19. Pasalnya, selain tidak relevan untuk wabah penyakit seperti Covid 19, Darurat Sipil adalah ketidakbijakan yang tidak proporsional (darurat kesehatan dihadapi dengan darurat sipil), ia juga berpotensi merusak kehidupan demokrasi yang sudah mulai berkembang di Indonesia.  

Namun, Pemerintah Pusat perlu meningkatkan kinerjanya terkait pengelolaan dan penyebarluasan informasi. Seharusnya, rakyat diberikan akses informasi yang seluas-luasnya terkait wabah virus Covid 19 ini, sehingga tidak ada yang ditutup-tutupi atau malah melibatkan influencer sebagai agen “propaganda”. Itu malah menghadirkan kondisi yang terpecah belah dan tidak menyatunya Bangsa, selain justru cenderung menyepelekan pandemi yang berdampak pada keterlambatan penanganan dan jatuhnya banyak korban.

Informasi yang jujur dan terbuka kepada masyarakat merupakan salah satu syarat, agar masyarakat dapat benar-benar percaya dan bersatu serta terlibat aktif mengikuti kebijakan pemerintah, untuk bisa bersatu mengalahkan corona.

Akhir kata, semoga Presiden, Parlemen dan Bangsa Indonesia bisa mengambil hikmah dari peristiwa mosi integral yang menyelamatkan dan menyatukan kembali bangsa dan negara. Inspirasi yang sangat diperlukan untuk penanganan Covid-19 ini. Penting karenanya Pemerintah menetapkan 3 April sebagai Hari NKRI sebagaimana aspirasi banyak pihak.

Tanggal 3 April 1950 denga Mosi Integral M Natsirnya, ingatkan akan benar dan pentingnya ungkapan #Jas Merah: Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Tapi juga benar dan pentingnya ungkapan #Jas Hijau : Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama/Umat.

Selamat memperingati Mosi Integral, selamat menjadikan Hari NKRI. Mari bersatu melawan wabah virus Covid-19!

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement