REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI
Hari-hari ini bagi para amil adalah hari yang tak mudah. Para amil adalah aktivis. Dan umumnya aktivis tak betah lama-lama di rumah. Ada DNA yang sama yang dimiliki para amil, yakni bekerja, dan terus bekerja untuk sesama. Maka ketika penyebaran virus covid-19 demikian massif, dan akhirnya pemerintah mengumumkan para pekerja agar bekerja di rumah, termasuk para amil di dalamnya. Langsung terbayang wajah duka para amil. Duka bukan semata takut akan risiko Covid-19, namun lebih dari itu, berduka karena merasa tak leluasa membantu sesama.
Hanya sebagian saja amil yang tetap bekerja di lapangan, itu pun dengan prosedur yang ketat dan penuh kehati-hatian yang tinggi. Sementara sebagian besar amil diminta bekerja di rumah atau work from home (WFH).
WFH ini bukan pilihan, namun keharusan untuk mengurangi kemudharatan yang lebih luas. Mudharat bagi amil sendiri dan mudharat bagi yang dibantu oleh mereka bila tak berhati-hati. Karena ini adalah bukan hal biasa, tentu tak mudah adaptasinya. Apalagi tak ada kesempatan uji coba sebelumnya.
Tiba-tiba WFH, di tengah situasi para amil yang sedang on fire untuk bersiap menghadapi Ramadhan. Dan kita semua tahu, Ramadhan adalah bulan tersibuk para amil. Bulan ini adalah bulan mulia namun juga puncak kesibukan untuk berbagi pada sesama dan melakukan beragam kebaikan lainnya.
WFH bagi amil sebagian tak bisa dilakukan dengan optimal. Pertama karena rumah memang secara umum di desain bukan tempat kerja, kedua karena saat yang sama, di rumah juga berkumpul semua anggota keluarga yang juga dengan alasan serupa, harus “dirumahkan” untuk alasan keselamatan dan pengurangan risiko penyebaran Covid-19. Jadilah bukan suasana kerja yang ada, namun suasana “reuni keluarga” dengan segala suasana dan kehebohannya.
Makan dan minum, serta snack dan camilan lain harus pula tersedia agar semua bisa tenang dan terpenuhi kebutuhan konsumsinya. Para Ibu lantas jadi guru dadakan, dan para bapak pun tiba-tiba jadi ahli tukang, bengkel, ngegim, pemain catur, pemain ular tangga hingga beragam permainan lain yang tiba-tiba harus ada di rumah dan bergiliran dimainkan.
Kalau sudah begitu, terbayang berapa waktu yang optimal sebenarnya seorang ayah yang juga pekerja untuk WFH dengan baik. Apalagi ibu-ibu pekerja yang juga ibu rumah tangga, yang sebagian-nya tak punya asisten rumah tangga. Bahkan seorang ibu sempat bercanda: "WFH di rumah saya, jadinya adalah wife from husband”. Ini karena tiba-tiba para suami memperlakukan istrinya bak asisten kantor yang diminta terus membantu dan melayani kebutuhan sang suami, bahkan hampir 24 jam berjalan. Luar biasa bukan, ada banyak kekacauan-kekacauan sekaligus kelucuan yang muncul ketika WFH mulai dan terus ada hingga saat ini. Dengan prediksi situasi yang akan panjang, berkisar 90 hari lebih, maka tentu saja harus ada kesabaran ekstra untuk menjalani dan menikmati situasi ini.
Para Amil, Mari Kita Perbaiki Kemampuan Menulis
Agar WFH bisa produktif memang tak mudah. Selain karena adanya beragam gangguan teknis, juga WFH tak dilengkapi proses pengawasan dan evaluasi layaknya bekerja di kantor. Ada beragam tulisan yang akhirnya muncul untuk memandu, bagaimana sesorang bisa produktif menjalani WFH.
Tips yang ada misalnya mengatakan, untuk bisa produktif, ada 5 hal yang perlu dilakukan yaitu: 1. Membuat jadwal, 2. Beri jeda setiap 120 menit, 3. Matikan notifikasi, 4. Pilih lokasi yang nyaman, dan 5. Ingat tujuan bekerja. Ada pula yang memberikan tipsnya sebagai berikut: 1. Tetapkan jam kerja Untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif saat bekerja dari rumah, 2. Komunikasi dengan keluarga, 3. Komunikasi dengan rekan kantor, 4. Jangan lupakan jam istirahat.
Menulis bagi amil zakat sesungguhnya bukan hal asing. Hal ini tak lain karena menulis sudah jadi pekerjaan atau aktivitas dasar yang melekat pada diri seorang amil. Walau tidak harus menjadi seorang penulis, seorang amil harus memiliki keterampilan dasar yang memadai dalam perkara menulis ini.
Menulis juga bukan soal bakat, karena banyak para penulis hebat pada awalnya tak dianggap punya talenta menulis yang baik. Menulis ini lebih pada soal kemauan belajar dan minat untuk mengembangkan diri dalam soal literasi.
Setiap amil idealnya secara terus-menerus melatih cara dan keterampilan menulisnya secara berkala. Ia harus istiqomah untuk menyampaikan pada dunia, apa yang ia inginkan dana pa yang ia rasakan. Ia juga harus terus memberitahu publik akan apa saja yang orang lain bisa dukung dan berikan bantuan saat ia menemukan sejumlah mustahik yang memerlukan beragam bantuan.
Tidak harus seorang amil pergi jauh terlebih dahulu untuk bisa menulis. Pun tidak ada jaminan bila seorang amil terjun ke lokasi-lokasi bencana lantas ia akan lancar menulis.
Seorang amil harus terus berlatih, “mengasah pena” (walau kini cukup dengan laptop dan gadget pun bisa) dan juga “mengasah mata batinnya”. Menjadi amil yang bisa menulis, tak lantas pindah profesi menjadi penulis. Menjadi amil yang bisa menulis juga, bukan berharap akan mendapat tambahan penghasilan, atau malah ketenaran. Dan untuk bisa menulis dengan baik, seorang amil harus istiqomah menulis dan terus berlatih.
Berlatih secara rutin akan semakin mempertajam tulisan dan memudahkan pembaca menikmati tulisannya. Untuk bisa berlatih, kunci utamanya yang paling menentukan adalah kedisiplinan. Dengan disiplin berlatih menulis, maka akan lahir tulisan yang lebih baik.
Jangan khawatir kehabisan ide atau gagasan ketika berlatih menulis, karena tokoh, semua penulis pun pada awalnya harus berjuang keras untuk menggali dan menemukan ide atau gagasan awal yang akan dituliskan. Jadi begitu macet tak punya ide, jangan berhenti menulis, tetaplah mencoba dan terus mencoba hingga ketemu ide baru untuk dituliskan. Lupakan soal bakat, karena begitu kita rajin berlatih menulis, soal bakat kini tak terlalu penting lagi untuk kita.
Dan soal bakat ini pun, pastinya kita tak sendirian, ada puluhan bahkan ratusan penulis sukses awalnya tak ada bakat menulis. Dengan terus berlatih, sesungguhnya kita sedang berjuang merintis dunia baru untuk kita masuki dan dari sana kita akan kabarkan pada dunia tentang banyak hal yang kita lihat dan kita rasakan sebagai seorang amil yang berjuang untuk memperbaiki kehidupan sesama.
Perjuangan untuk bisa menulis dengan baik dan terasa asyik memang tak mudah, namun sebagaimana sebuah perjuangan, akan terasa buahnya ketika akhirnya kita sampai pada waktunya untuk memetiknya. Di bawah ini, setidaknya, ada lima rahasia untuk berlatih menulis yang asyik, sambil menikmati jeda waktu di antara keriuhan WFH masing-masing di rumah kita semua.