REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Neni Nur Hayati*
“Kami Pengawas Pemilihan Umum. Mengabdi Tuk Negara dan Berjiwa Pancasila. Bertugas Tuk Mengawal Demokrasi Bangsa Indonesia. Berdasar Undang-Undang Kami Pun Berdiri Wujudkan Harapan Reformasi Kobaran S’mangat Kami Tak Akan Berhenti Ayo Awasi!”
Itulah potongan lirik Mars Pengawas Pemilu. Mars ini akan terus digemakan para pengawal penegak demokrasi negeri ini manakala hajatan lima tahunan itu diselenggarakan di seluruh Indonesia pada setiap tingkatan penyelenggaraan.
Sang komponis bukanlah seorang musisi terkenal yang seluruh hidupnya diabdikan untuk musik itu sendiri. Ia bukan pula seorang penyair yang dengan kata-katanya mampu mengungkapkan makna-makna. Lirik-lirik ini lahir dari seorang pengabdi demokrasi. Gunawan Suswantoro, lelaki tegap kelahiran Banjarnegara 30 Juni lima puluh empat tahun yang lalu, adalah nama yang tak asing lagi bagi dunia penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Gunawan Suswantoro adalah pribadi multi talenta. Birokrat, aktifis, penulis adalah sebagian dari dirinya ini. Beberapa buku yang pernah ia terbitkan di antaranya: 60 Tahun Jimly Asshiddiqie yang ia edit bersama Nurhidayat Sardini, Mengawal Penegak Demokrasi di Balik Tata Kelola Bawaslu & DKPP, Pengawasan Pemilu Partisipatif, Satu Dekade Meniti Demokrasi, dan buku yang sebentar lagi akan hadir: Arah Baru Sistem Pemilu.
Buku-buku yang ia tulis sendiri maupun bersama rekan ini adalah gambaran bahwa dirinya memang ada di jantung penegakkan demokrasi bangsa ini. Bahkan mungkin jantungnya itu sendiri.
Ia harus memastikan penyelenggaraan pemilu di negeri ini sesuai dengan harapan demokrasi, harapan dari seluruh rakyat Indonesia yang mendambakan pemilu yang jujur dan adil. Ia juga harus memastikan para penyelenggaranya adalah insan-insan yang berintegritas, penuh dedikasi dan kejuangan.
Gunawan, nama yang disematkan baginya seolah menjadi takdir. Harapan kedua orangtuanya, pasti: agar kelak ia menjadi seorang yang senantiasa berguna. Namun, takdir lain berbicara. Sang ayah meninggalkan Gunawan untuk selamanya di usianya yang masih belia. Dibesarkan dengan hanya kasih sayang ibu, Gunawan tetap bersekolah dengan riang.
Untuk itulah, dengan segala keterbatasan, ia lewati masa-masa indah itu dengan penuh perjuangan. Gunawan harus menyusuri jalan setapak hingga menyeberangi sungai demi menuntut ilmu dari sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Sampai di sini, sang ibu hanya sanggup membiayai. Ia tak patah arang. Ia tak surut untuk terus menempuh pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi lagi. Demi memuluskan jalannya itu, bersama sang kakak, ia menjadi ‘pemburu’ beasiswa hingga berhasil meraih gelar sarjana hukum tata negara. Tempaan inilah yang membentuk karakternya hingga kini.
Sejak menjabat sebagai staf Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 1993, karier birokratnya terus melejit. Dalam kurun waktu kurang lebih tujuh tahunan, jabatan sebagai Kasubag Perundang-undangan Biro Hukum (2000-2001) langsung diembannya. Selanjutnya, berturut-turut menjadi kepala Seksi Pol PP Ditjen Pemerintahan Umum (2001-2004), Kepala Seksi Kerja Sama Antardaerah Ditjen PUM (2004-2006), Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum (2006-2008), dan Kasubdit Pembauran dan Kewarganegaraan Ditjen Kesbangpol (2008-2009).
Pengalaman sebagai birokrat ini, tak disia-siakan Gunawan. Ia menghayati betul pekerjaannya itu. Semua jabatan yang disandangnya, ia yakini sebagai amanah Tuhan yang dianugerahkan kepadanya. Amanah ini akan menjadi ibadah apabila disyukuri dan dijaga betul. Sebaliknya, akan menjadi bencana apabila disalahgunakan. Inilah jargon ‘mimpi dan perjuangan’ yang telah menjadi motto hidupnya itu.
Pada 8 April 2009, di tengah kesibukannya mempersiapkan konferensi jarak jauh kesiapan Pemilu 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ia mendengar kabar dari Kemendagri bahwa Gunawan akan dilantik sebagai kepala sekretariat (kini sekretaris jenderal) Bawaslu. Nyaris tanpa rival.