Kamis 09 Apr 2020 12:20 WIB
Corona

SBY: Indonesia Harus Bersatu Hentikan Pandemi Corona

Artikel Mantan Presiden SBY menyoroti soal pandemi Corona

SBY saat memberi sambutan di acara mengenang setengah tahun kepergian Ani Yudhoyono di Gunung Geulis, Bogor,.
Foto: Dewi Mardiani/Republika
SBY saat memberi sambutan di acara mengenang setengah tahun kepergian Ani Yudhoyono di Gunung Geulis, Bogor,.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: H Susilo Bambang Yudhoyono, Mantan Presiden RI*

Kemarin, 7 April 2020, melalui TV saya mengetahui bahwa Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson dipindahkan ke rumah sakit di London dengan perawatan intensif. Kita mengetahui bahwa pemimpin eksekutif Inggris tersebut 11 hari yang lalu dinyatakan positif korona. Berita itu kini menjadi “headline” media massa di seluruh dunia.

Saya tidak mengenal Boris Johnson secara pribadi. Ketika memimpin Indonesia dulu, saya mengenal dan bekerja sama dengan 3 perdana menteri Inggris, yaitu Tony Blair, Gordon Brown dan David Cameron.

Tony Blair pernah bekerja sama dalam membangun hubungan yang harmonis antara Dunia Islam dan Dunia Barat. Waktu melakukan kunjungan ke Jakarta, Blair dan saya melakukan dialog dengan tokoh-tokoh Islam terkemuka di Indonesia. Setelah tak lagi menjadi PM, Blair masih menjalin persahabatan dengan saya.

Dengan Gordon Brown saya bekerja sama dalam forum G20, utamanya ketika para pemimpin dunia harus bersatu dan berkolaborasi menangani krisis ekonomi global tahun 2008-2009 yang lalu. Untuk diingat, dalam situasi yang penuh kepanikan, pertemuan puncak G20 pertama dilaksanakan di Washington DC dengan Presiden Bush sebagai tuan rumahnya. Pertemuan kedua dilaksanakan di London dengan Perdana Menteri Gordon Brown sebagai chair. Saya masih ingat bahwa untuk menghadiri pertemuan penting G20 di London tersebut saya harus meninggalkan tanah air, meskipun waktu itu saya tengah berada pada puncak kampanye Pemilihan Presiden Tahun 2009.

Sedangkan dengan David Cameron, sebagaimana banyak diketahui, saya pernah bekerja sama (juga dengan Presiden Liberia Johnson Sirleaf) sebagai Ketua Bersama Panel Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diminta oleh Sekjen PBB Ban-Ki Moon, untuk memberikan masukan terkait dengan SDGs, pengganti MDGs yang jatuh tempo pada tahun 2015.

Sungguhpun saya tidak mengenal Boris Johnson secara pribadi, sebagai mantan Presiden Indonesia dan sebagai warga dunia (world citizen) saya mendoakan secara tulus agar Johnson diberikan kesembuhan. Semoga beliau diselamatkan dari serangan virus korona yang ganas itu, dan bisa kembali memimpin Inggris dalam masa krisis sekarang ini, untuk keselamatan warga negaranya.

Mengapa saya menyampaikan doa tulus untuk kesembuhan pemimpin Inggris itu? Mengapa saya memiliki empati kepada seorang pemimpin yang jatuh sakit ketika sedang bekerja keras untuk menyelamatkan bangsa dan negaranya dari sebuah krisis?

Semuanya bertolak dan berkaca dari pengalaman pribadi saya sendiri. Pengalaman pribadi seseorang, yang pernah berada dalam situasi yang sama.

Dalam perjalanan hidup saya, khususnya ketika selama sepuluh tahun memimpin Indonesia, beberapa kali saya memimpin negara dan pemerintah dalam mengatasi krisis. Sebagai contoh, sewaktu bersama Wapres Jusuf Kalla mengatasi bencana alam terbesar awal abad 21, yaitu tsunami Aceh dan Nias; sewaktu mengatasi krisis meroketnya harga minyak dunia di tahun 2005, 2008 dan 2013; dan sewaktu mengatasi krisis ekonomi global tahun 2008-2009 bersama Pak Jusuf Kalla, Pak Boediono, Ibu Sri Mulyani dan para pejabat negara baik pusat maupun daerah yang lain.

Dalam masa krisis dan “darurat” tersebut, saya harus memimpin secara langsung. Bertanggung jawab secara penuh. I must be at the driving seat. Ibarat sedang menjalankan kendaraan, saya sendiri yang harus mengemudikannya, sementara rakyat Indonesia sebagai penumpangnya. Tentu saja perjalanan kendaraan itu dalam cuaca yang buruk, menembus hujan lebat dan badai, sementara jalannya berliku dan kiri kanannya pun tebing dan bukit. Secara manusiawi dalam keadaan seperti ini semua merasa tegang, “stress” bahkan takut.

Nah, dalam suasana krisis tersebut, seorang pemimpin sering lupa atas keamanan dan keselamatan dirinya. Bisa lupa makan dan minum, kurang tidur dan bahkan tidak mengenal waktu untuk beristirahat. Karena .... dalam hati dan pikirannya, tugaslah yang harus diutamakan. Mission must be well accomplished.  Krisis harus bisa diatasi. Negaranya harus selamat. Rakyat harus dilindungi. Semuanya dipandang sebagai tugas dan kewajiban moral seorang pemimpin.

Dalam keadaan seperti itu, pemimpin di samping mengalami tekanan psikologis sangat mungkin justru jatuh sakit. Saya jadi ingat mendiang isteri tercinta. Setiap berada dalam situasi seperti itu, Ani tak pernah lupa mengingatkan untuk tetap menjaga kesehatan saya. Sambil terus mendampingi dan memberi semangat kepada saya, Ani juga memperhatikan makanan dan vitamin yang saya perlukan. Juga menemani saya ketika menjalankan sholat, karena setelah semua diikhtiarkan melalui kerja keras, pertolongan Allah-lah yang kita mohonkan.

Saya yakin, saat ini, para pemimpin di seluruh dunia juga berada dalam situasi yang saya gambarkan tadi. Termasuk pemimpin Inggris, dan tentunya pemimpin kita sendiri, Presiden Jokowi.  Sehingga, doa saya ini ~ doa keselamatan dan kesehatan ~ juga berlaku bagi para pemimpin yang lain. Termasuk semua pihak yang tengah berada di “garis depan” dalam mengatasi serangan virus korona ini. Secara khusus, doa tulus dan terima kasih juga saya tujukan kepada para dokter dan perawat, yang tugasnya memiliki risiko yang paling tinggi, karena sehari-hari mesti bersinggungan dengan para pasien Covid-19.

 

sumber : rilis
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement