REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolandha*)
Alkisah pada masa Perang Dunia II, hidup seorang ibu, Grace Stewart (diperankan oleh Nicole Kidman), yang tinggal di perdesaan terpencil bersama sepasang anaknya, Anne dan Nicholas. Kedua anak ini mengalami penyakit aneh. Mereka tak boleh terkena matahari langsung.
Awalnya tidak ada yang janggal dalam hidup mereka, sampai tiga orang asisten rumah tangga datang. Sejumlah peristiwa ganjil menghantui mereka di rumah tersebut.
Anne mengaku beberapa kali melihat sekelompok orang di rumah itu, termasuk seorang anak bernama Victor. Anak itu mengatakan kalau rumah itu adalah miliknya.
Awalnya, Grace tidak menggubris semua itu sampai ia mengalaminya sendiri. Piano bermain sendiri, padahal ruangannya terkunci. Saat itu dia meyakini ada 'seseorang lain' di rumah tersebut.
Plot cerita semakin mencekam, dimana akhirnya Grace menyadari seseorang yang lain itu adalah dirinya sendiri. Bukan hantu yang berkeliaran di rumah mereka, tetapi merekalah si hantu tersebut.
Film The Others yang dirilis pada 2001 menjadi salah satu film horor psikologi favorit saya. Film yang mendapat 14 juta dolar AS pada pekan pertama rilisnya itu berhasil memainkan psikologi penonton dengan fakta yang tak terduga di akhir.
Kondisi yang dialami Grace di film tersebut mungkin sedang kita rasakan saat ini. Ada sesuatu yang tak terlihat tengah menggerogoti dunia, membuat lebih dari satu juta orang tumbang, dan puluhan ribu di antaranya meninggal dunia. Dia hanya sebuah sel dibungkus lemak yang diberi nama Covid-19.
Kehadirannya begitu menakutkan, meskipun banyak peneliti mengatakan dia tidak lebih mematikan dibandingkan TBC. Tetapi dia menyebar begitu cepat, tanpa perlu banyak promosi seperti upline MLM. Cukup mendekat ke penderita, penderita ngomong atau bersin, selamat, kamu kena corona!
Sejak awal kehadirannya, banyak orang yang meremehkan Covid-19. Berbagai teori konspirasi bermunculan, termasuk Covid-19 sebagai propaganda supaya umat Islam tidak usah ke masjid. Atau Covid-19 adalah senjata biologis untuk menyerang negara lain atau mengurangi jumlah penduduk di bumi yang konon katanya sudah mencapai tujuh miliar orang.
Namun, jumlah korban terus bertambah, jumlah infeksi meroket. Melihat korban meninggal yang tak kenal usia, apakah masih berpegang pada prinsip propaganda dan senjata biologis?
Orang-orang dirumahkan, dilarang keluar kalau tidak ada uzur yang sangat penting.
Akibatnya, aktivitas ekonomi lumpuh. Tak hanya satu negara, tapi satu dunia. Padahal, ekonomi global baru akan mulai membaik pascaditandatanganinya Perjanjian Fase Pertama antara China dan Amerika Serikat yang sudah terlibat perang dagang berlarut-larut.
Lockdown, isolasi. Opsi ini dianggap sebagai cara yang ampuh untuk menekan angka penyebaran Covid-19. China sudah membuktikannya. Wuhan, kota tempat Covid-19 berasal, telah diisolasi selama dua bulan dan berhasil menurunkan garis kurva kasus corona. Saat ini, kasus di China tinggal imported case.
Sejumlah negara lain di Eropa dan Asia juga menerapkannya, meskipun kondisi itu sedikit terlambat di Italia. Di Indonesia, pemerintah tidak secara gamblang memerintahkan lockdown. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengimbau masyarakat untuk bekerja, belajar dan beribadah di rumah.
Sementara vaksin Covid-19 belum ditemukan, isolasi mandiri adalah jalan terbaik saat ini. Bagi tim rebahan, ini adalah waktu yang tepat menjadi pahlawan. Hanya dengan rebahan di rumah, kita bisa menyelamatkan ratusan atau bahkan ribuan nyawa di sekitar kita. Dengan tetap di rumah, kita mengurangi potensi penyebaran virus yang dibawa oleh carrier.
Ini bukan tanpa konsekuensi. Banyak hal dikorbankan, termasuk perekonomian rakyat. Yang paling merasakan adalah pekerja harian dan pekerja lepas.
Sayangnya, masih saja ada yang tidak peduli. Tanpa memikirkan konsekuensinya, masih banyak yang berkeliaran tanpa uzur, termasuk mempercepat mudik. Padahal, mereka datang dari wilayah yang masuk ke zona merah.
Meski sudah berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pemantauan (PDP) pun, masih banyak di antara mereka yang berkeliaran keluar lingkungan. Mereka tetap melakukan aktivitas di luar padahal sudah diminta isolasi mandiri. Kita sebut apa mereka? Egois?
Seperti plot twist di film 'The Others', mungkin sebetulnya bukan Covid-19 yang jadi virusnya. Jangan-jangan, Covid-19 adalah antivirus bagi bumi yang selama ini telah kita eksploitasi. Kita adalah virusnya. Kita merusak tubuh bumi, mengebornya sampai ke inti demi mendapatkan minyak dan batu bara, membakar paru-parunya demi lahan baru dan merusak keseimbangannya.
Kemudian, bumi membentuk antivirus untuk menghempaskan kita yang menjadi benalu di tubuhnya, untuk menciptakan keseimbangan baru. Seolah berkata, "Kalian adalah tamuku, bukan pemilikku.”
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id