REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Asma Nadia
Setelah Corona merebak, nampaknya pemerintah Indonesia sudah dan masih terus harus menetapkan banyak aturan yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan.
Begitu juga individu, kepala keluarga, pemimpin, masyarakat, tokoh agama, budayawan, praktisi pendidikan, pebisnis, dan semua pihak, mau tidak mau, suka tidak suka harus pula menyesuaikan diri dengan situasi pandemi yang belum jelas bagaimana akan berakhir.
Bangsa Indonesia kini hidup dalam kondisi yang bisa disebut “A New Normal” atau tradisi normal gaya baru. Menjalani hari-hari dengan keadaan yang dulu dianggap merepotkan, melelahkan, tak sopan, tak berbudaya, bahkan ‘gila’ tapi lambat laun akhirnya terasa sebagai sesuatu yang normal. Ya, yang kemudian menjadi lumrah selama pandemik sejatinya merupakan hal ganjil dan tak terbayangkan di waktu-waktu sebelumnya.
Menggunakan masker di tempat publik menjadi hal normal yang pertama. Bukan cuma lumrah melainkan kemudian masuk sebagai sesuatu yang wajib. Pemerintah, jika tidak menetapkan lockdown memang tidak memiliki pilihan, kecuali mengharuskan seluruh masyarakat memakai masker saat berada di ruang publik. Entah ketika mereka naik kendaraan umum, berjalan, berjualan, naik motor, ke kantor, harus memakai masker tanpa terkecuali..
Setidaknya masker menjadi amunisi sederhana namun menempati prioritas utama, yang paling mungkin disediakan setiap orang, dan diharapkan mampu memutus rantai penyebaran virus. Masker kain khususnya, bisa dibuat siapa saja di rumah dan dikenakan ketika terpaksa berada di luar. Tidak perlu membeli masker standar medis, karena dia lebih dibutuhkan para dokter dan perawat yang berhadapan langsung dengan pasien terinfeksi corona.
Menganjurkan penggunaan kaca mata saat berada di luar penduduk juga bukan ide buruk. Telepas minus, plus, atau normal, mengenakan kaca mata memperkecil risiko tertular penyakit covid19 ini.
Mencukur pendek rambut dan tampil klimis buat laki-laki sementara waktu selama wabah bisa menjadi salah satu cara mengurangi lahan bagi virus mendarat.
Mengenakan topi atau peci mungkin juga menjadi tradisi normal yang baru. Dulu topi wajib dibuka di dalam ruangan, tapi kini topi, lebih ideal peci, bisa menghindari virus bersarang dirambut yang jika berkeringat berpotensi mengalir ke mata. Topi juga bisa dilepas sebelum pulang ke rumah sehingga anggota keluarga yang berada di luar, meminimalisir kemungkinan membawa virus.
Tidak bersalaman ketika berjumpa, kini bukan bentuk ketidaksopanan, melainkan sikap yang dianjurkan demi saling menjaga. Jika dulu bakti seorang anak ditunjukkan dengan cara mengunjungi orang tua, saat ini justru sebaliknya. Demi bakti, mereka sementara tidak mengunjungi orang tua -apalagi yang sudah memasuki usia sepuh dan berada pada titik paling riskan untuk terinfeksi.
Mengantongi sanitizer atau alkohol juga menjadi new normal. Sekalipun cuci tangan dengan sabun di air mengalir lebih baik, tapi dalam keadaan minim air atau jauh dari toilet maka hand sanitizer atau alkohol bisa membantu membersihkan tangan.
Bagaimana dengan busana perlukah kita pikirkan juga apa yang akan menjadi gaya normal baru? Mengenakan kemeja saat berada di luar- sebagai pengganti kaus, barangkali bisa dipertimbangkan. Alasannya, kemeja yang dikenakan dan mungkin terpapar virus ketika kita berpapasan dengan entah berapa banyak orang saat berada di luar, maka ketika dilepas tidak perlu melalui wajah. Berbeda jika mengenakan kaus yang mungkin saja saat dilepas, bagian luar kaus akan menyentuh wajah dan ini menambah risiko.
Kenapa jadi njelimet? Ya, terpaksa. Meski jika ditimbang-timbang, rasanya masuk akal juga. Di rumah, pikiran ini muncul saat melihat suami yang punya kebiasaan baru, melepas kausnya tidak menarik dari bawah melainkan memastikan menarik kaus dari kerah - tanpa membalikkan kaus bagian luar- hingga tidak menyentuh wajah, atau mengenakan kemeja.
Memakai celana pendek di dalam celana panjang bagi sebagian ayah yang keluar rumah, menjadi tradisi normal. Agar celana panjang yang mungkin terkena virus tidak di bawa masuk maka seorang ayah membuka celana panjangnya di luar pintu, dan masuk ke rumah dengan memakai celana pendek yang sebelumnya sudah dikenakan.
Membuka sepatu sebelum masuk rumah juga menjadi sebuah kebiasaan baru. Mencuci tangan atau mandi sebelum bertemu anggota keluarga juga ideal. Handsoap atau sanitizer yang disiapkan di depan pintu rumah sangat dianjurkan. Bahkan di komplek perumahan, saat ini anjuran mencuci tangan diiringi cairan pembersih yang disediakan di pos-pos tertentu merupakan pemandangan biasa.
Mengurangi pemakaian dasi mungkin bisa dipertimbangkan. Semakin simple pakaian yang kita kenakan, semakin sedikit wadah bagi virus menempel. Meski sebagian masyarakat pun saat ini bekerja dari rumah. Ah, rapat melalui video call, atau aplikasi temu muka daring, ternyata mungkin dilakukan di hampir semua profesi. New normal yang lain.
Hal lain, suami saya sekarang ketika terpaksa meninggalkan rumah dan mungkin bertemu waktu sholat di luar, ia rajin membawa sendiri sajadah lipat terbuat dari bahan plastik atau karet yang memastikan melindungi bagian kedua tangan dan wajah saat bersujud. Setelahnya, karena bahannya semacam plastik atau karet jadi dengan mudah dilap cairan pembersih. Ikhtiar lain, alternatif yang dirasa paling aman bagi kalangan muslim yang tak bisa menghindari mendirikan sholat di ruang publik.
Idealnya saat ini, setiap kita ketika keluar memang membawa sajadah sendiri. Masalahnya umumnya sajadah yang ada, bahannya berbulu sehingga sulit atau mustahil dibersihkan setiap usai digunakan. Bagaimana jika sholat di masjid atau mushola yang tanpa karpet? Tetap riskan, kalau mengingat satu kali bersin saja, seseorang menghasilkan 400.000 droplet. Jika diinjak maka virus menyebar ke mana-mana di lantai yang menjadi tempat sujud. Dilema. Ada baiknya membiasakan membawa sajadah lipat yang dipakai khusus diri sendiri, dari bahan yang mudah dibersihkan.
Kerinduan yang harus ditahan untuk sholat berjamaah di masjid, pun menjadi kondisi lain yang harus diterima. Meski untuk ini semoga kita tidak pernah merasa sebagai sesuatu yang normal. Pun sebentar lagi menjalani hari-hari Ramadhan tanpa buka puasa bersama, tarawih bersama, dan sholat Iedul fitri berjamaah maupun silaturahim di hari kemenangan.
Meski begitu ada tradisi normal baru yang saya syukuri. Keinginan berbagi luar biasa dari berbagai lapisan masyarakat. Rumah ke rumah, komplek demi komplek perumahan, berbagai komunitas. Semoga semangat gotong royong ini menjadi tradisi yang terus berdenyut di tanah air, bahkan setelah wabah selesai.
Banyak hal telah berubah dan akan berubah. Tidak sedikit di antaranya yang sebenarnya baik juga untuk dipertahankan, perhatian terhadap kebersihan, fleksibilitas pertemuan yang dulu mengharuskan keberadaan fisik. Semangat gaya hidup sehat, termasuk berjemur matahari secara rutin, minimal tiga kali sepekan. Juga menghidupkan kebun kecil di setiap rumah serta semangat berbagi dan mengubah cara pikir yang hanya menjadi penonton saat orang lain mendapatkan masalah, sebaliknya segenap rakyat mencoba bergerak, berkontribusi menjadi penyelesai masalah bagi yang lain.
Demikianlah, selamat datang di era “New Normal.”
Selama pandemik belum berakhir, setiap kita akan terus memikirkan pertahanan terbaik agar tidak tertular dan menulari. Semoga seluruh rakyat siap disiplin menjalankan beberapa kebiasaan yang dianjurkan, dipaksa bahkan diwajibkan dan berkekuatan hukum dari pemerintah. Seperti memakai masker. Menjaga jarak di ruang publik juga masih menjadi persoalan yang membutuhkan kawalan pemerintah. Tidak boleh lagi terlihat khalayak ramai berkumpul di jalan, supir ojol atau taksi nongkrong dan mengobrol dalam jarak dekat, atau menunggu penumpang tanpa masker. Larangan berkumpul ini termasuk dalam aturan yang harus terus diawasi pemerintah.
Beberapa kebiasaan positif harus terus dibangun dan dibangkitkan kesadaran dari masyarakat, dengan dukungan para ulama, dan tokoh masayarakat.
Perkuat doa-doa, bertahan sebisa kita melalui masa sulit ini tanpa menutup mata dan hati dari tradisi berbeda yang sebenarnya memang terbaik dilakukan untuk saat ini. Allah mudahkan setiap kita menerima tradisi normal baru di Indonesia.