Senin 13 Apr 2020 10:12 WIB

Karantina Mandiri tak Serta-merta Picu Perceraian

Psikolog keluarga menjelaskan karantina mandiri tak serta-merta picu perceraian.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Reiny Dwinanda
Perceraian/ilustrasi. Psikolog keluarga menjelaskan karantina mandiri tak serta-merta picu perceraian.
Foto: familylawyerblog.org
Perceraian/ilustrasi. Psikolog keluarga menjelaskan karantina mandiri tak serta-merta picu perceraian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Karantina mandiri di rumah selama masa penanggulangan Covid-19 dikabarkan telah memengaruhi tingkat tingkat kekerasan di dalam keluarga hingga perceraian di sejumlah negara. Psikolog keluarga Universitas Gadjah Mada (UGM), Sutarimah Ampuni, tak ingin cepat-cepat menghubungkan kedua hal tersebut sebagai sebab-akibat.

"Kalau stay at home memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), konflik pada umumnya, atau perceraian, saya rasa kaitannya tidak sesederhana itu,” ungkap dia saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (10/4).

Baca Juga

Menurut Sutarimah, ada dua poin yang harus diperhatikan pada informasi mengenai data tingkat perceraian ini. Pertama, mungkin saja sebenarnya yang terjadi bukan peningkatan, tapi penundaan.

"Karena selama lockdown, yang sebenarnya akan mengajukan perceraian tidak bisa, jadi berbondong-bondong mengajukan setelah selesai lockdown," jelasnya.

Kedua, keputusan cerai itu biasanya bukan keputusan instan yang bisa muncul tiba-tiba dalam waktu sesaat. Prosesnya biasanya panjang.

Jadi, pengajuan cerai setelah lockdown itu pasti ada proses panjang yang melatarbelakanginya. Sutarimah mengungkapkan, pasangan yang memang sudah sering berkonflik, memang memungkinkan untuk berkonflik lebih intens ketika berada bersama di rumahterus-menerus.

"Demikian pula jika ada kecenderungan KDRT, mungkin memang akan menjadi lebih manifest dalam situasi tersebut,” ujar Sutarimah.

Konflik atau perbedaan pendapat setiap hari dalam rumah tangga, pasti akan selalu ada. Andaikan dalam masa pandemi konflik meningkat, mungkin bisa disebabkan karena tiga hal.

Pertama, jika frekuensi dan durasi interaksi semakin banyak, tentu konflik pasti makin banyak. Biasanya, anggota keluarga hanya bertemu pada malam hari, sehingga tidak sempat bertengkar. Tapi sekarang mereka harus berjumpa dari pagi, siang, hingga malam.

Kedua, dengan berada di rumah terus, maka akan bertemu pasangan setiap saat, keburukan pasangan akan semakin terlihat. Ketiga, berbagi tanggung jawab menjadi lebih dituntut dalam situasi ini. Kalau ada pihak yang merasa selama ini pasangannya tidak adil dalam rumah tangga, kemungkinan ketidakadilan itu jadi lebih terasa ketika keduanya di rumah saja.

“Kondisi-kondisi itu akan semakin berbahaya kalau ada faktor-faktor lain yang juga bermasalah, misal masalah finansial," ujar Sutarimah.

Di samping itu, Sutarimah juga mencermati kondisi psikologis yang menyertai adanya wabah. Kecemasan dan duka cita karena kematian dalam keluarga bisa jadi juga turut menjadi tombol pemicu perceraian.

"Tapi sekali lagi, ini hanya pada pasangan-pasangan yang memang sudah ada masalah sebelumnya,” papar Sutarimah.

Lain halnya pada pernikahan yang sehat, konflik-konflik tidak akan meningkat drastis. apalagi sampai mengakibatkan perceraian.

“Jadi bisa disimpulkan, kalaupun terjadi gugatan perceraian pascamasa pandemi, ya itu kemungkinan besar memang pada pasangan-pasangan yang sudah ada keretakan dari awalnya,” kata Sutarimah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement