REPUBLIKA.CO.ID, oleh Christianingsih*)
Sudah sekitar empat bulan dunia disibukkan dengan virus corona. Kebijakan physical distancing diyakini menjadi cara efektif memutus mata rantai penyebaran virus ini. Karena itulah banyak negara yang membatasi pergerakan warga bahkan menerapkan lockdown.
Langkah ini membuat masyarakat tinggal lebih lama, bahkan sepanjang hari, di dalam rumah. Waktu untuk bertemu dengan pasangan dan anggota keluarga lain pun makin bertambah. Mau bagaimana lagi, di saat pandemi seperti ini tetap berada di rumah adalah salah satu sikap terbaik.
Namun benarkah tinggal di rumah benar-benar memberikan rasa aman? Rasa aman karena kemungkinan terpapar virus corona jadi lebih kecil mungkin iya. Tapi ada risiko lain yang mengintai: KDRT.
Lewat Twitter, Sekjen PBB Antonio Guterres menyampaikan kekhawatiran atas naiknya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) karena banyak wanita terperangkap di rumah bersama pasangan yang kasar. Banyak negara melaporkan peningkatan kasus KDRT. Kekerasan domestik di Prancis dilaporkan naik sepertiga dalam sepekan.
Tahun lalu, tidak dalam kondisi pandemi, studi Princenton University menyebut para perempuan menikah di Timur Tengah dan Afrika Utara sudah tak asing lagi dengan KDRT. Maka tak heran kini di Afrika Selatan terjadi hampir 90 ribu kekerasan terhadap perempuan dalam pekan pertama lockdown.
Menteri Pemberdayaan Perempuan Tunisia, Asma Shiri, juga memberi peringatan soal meningkatnya kasus KDRT. Peningkatan kekerasan domestik terjadi sebagai imbas atas larangan pemerintah keluar rumah untuk menekan penularan corona. Setelah pembatasan pergerakan itu dilakukan, jumlah KDRT meningkat lima kali lipat.
Clara Lionel Foundation (CLF), yayasan nirlaba yang didirikan Rihanna dan Jack Dorsey mengumumkan donasi senilai 4,2 juta dolar AS atau sekitar Rp 66 miliar. Donasi itu ditujukan untuk membantu korban KDRT di Los Angeles selama pandemi Covid-19. Saat ini diperkirakan ada 10 juta orang di Los Angeles mengalami KDRT.
Pembatasan pergerakan ataupun lockdown rupanya dapat menciptakan neraka kecil di dalam rumah. Berada di rumah adalah mimpi buruk bagi mereka yang terjebak dalam rumah tangga yang kasar.
Tinggal di rumah sepanjang hari dapat menyulut pertikaian antar anggota keluarga akibat berbagai alasan. Kombinasi antara rasa bosan, kian menipisnya pendapatan akibat lesunya ekonomi, dan tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan dapat menjadi faktor pemicu terjadinya KDRT.
Bagaimana dengan di Indonesia? Peningkatan angka KDRT akibat pandemi Covid-19 juga sangat mungkin terjadi di negara ini. Apalagi sejak wabah corona melanda, sejumlah bisnis terpaksa gulung tikar dan mem-PHK karyawannya.
Menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dimuat di laman Kemen PPPA, perempuan yang memiliki suami mengganggur berisiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya bekerja/tidak menganggur.
Survei juga menunjukkan perempuan yang berasal dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Angka-angka di atas tidak bisa disepelekan.
Pemerintah memang kini tengah sibuk mengatur strategi meredam Covid-19 yang kian hari kian memakan korban. Namun PR pemerintah bukan hanya memutar otak agar angka pasien tak makin membengkak.
Pemerintah juga harus memastikan ada rencana pencegahan serta penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai bagian dari rencana nasional Covid-19. Karena dalam kondisi apa pun, setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id