REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Eep Saefulloh Fatah, Pendiri dan CEO PolMark Indonesia dan Dig-Inc.Asia
Foto rak-rak penuh buku. Itulah posting terakhir AE Priyono di akun Instagramnya. Tarikhnya, 10 Maret 2020.
Hampir persis sebulan kemudian, 12 April 2020 siang, saya disentak kabar duka. AE Priyono, pembaca buku yang tekun dan penulis yang ajeg bersikap itu, berpulang.
Rak-rak penuh buku di akun Instagramnya itu bagi saya bukan sekadar gambar. Ia representasi yang tepat untuk AE, sang pemiliknya. AE menggauli buku jauh lebih layak dari banyak orang. Buku adalah hartanya yang sangat berharga.
Saya pun pertama mengenalnya lewat buku. Saya terpesona membaca Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi-nya Kuntowijoyo. Buku ini memperkenalkan gagasan-gagasan dasar Kuntowijoyo secara sangat representatif.
Sangat membukakan mata. Penyuntingannya dilakukan dengan sangat baik. Penikmatnya yang terpesona pun layak berterima kasih pada penyuntingnya: AE Priyono.
Pada hari-hari perkenalan dengan Kuntowijoyo itu, saya sedang bersemangat belajar menulis. Beberapa surat kabar, termasuk dan terutama Republika, berbaik hati memuat kolom-kolom saya di halaman opini mereka. Saya baru tahu kemudian, AE Priyono adalah redaktur halaman opini Republika.
Ada satu peristiwa yang saya ingat dalam hubungan kami sebagai penulis kolom dan redaktur opini. Minggu kedua Juli 1994 saya mengirimi Republika kolom panjang yang gagal saya pendekkan. Judulnya pun mirip makalah, "Resistensi Pers Kita: Negara, Masyarakat, dan Modal".
AE Priyono berbaik hati tak memotongnya dan memuatnya dalam dua hari, 11-12 Juli 1994. Bukan hanya itu, AE secara khusus berterima kasih untuk kiriman kolom panjang itu.
Ia mengaku menyukainya karena menemukan garis perlawanan yang tegas di dalamnya. "Anda bersikap dengan terang benderang," begitu kurang lebih kata AE.
Perkenalan kami yang lebih personal kemudian terjadi di akhir 1994. Tepat di hari Natal di tahun itu, saya bergabung dengan Litbang Redaksi Republika. Saya bergabung dengan nama-nama yang sudah banyak dikenal di meja-meja diskusi publik saat itu: Ade Armando, Hamid Basyaib, Nurul Agustina dan yang paling senior AE Priyono.
Di Litbang Redaksi, AE punya kontribusi sangat besar. Ia ada di belakang penuntasan "Buku Gaya Republika" -- panduan jurnalistik untuk kalangan dalam. AE juga tukang kritik yang sangat pedas untuk kalangan redaksi. Jauh sebelum Rocky Gerung rajin menggunakan kata "dungu", waktu itu AE rajin memakai kata "bodoh" untuk setiap kekeliruan jurnalistik elementer yang ia temukan.
Ketika Litbang Redaksi Republika mulai secara serius melakukan jajak pendapat melalui telpon -- sebelum Daniel Dhakidae dan Litbang Kompas melakukannya -- AE adalah pendukungnya yang gigih. AE sebetulnya bukan penggemar jajak pendapat atau survei. Ia sama sekali bukan penggemar kuantifikasi dalam ilmu sosial.
AE adalah tipe intelektual yang ketika mesti membaca dan mendeskripsikan sebuah pohon, ia akan memperhitungkan kekuatan akar, batang, cabang, ranting, tunas, daun, bunga dan buahnya. Bagi AE, jajak pendapat itu hanya bisa menarasikan tunas atau daun atau bunga atau buah belaka.
Dengan kata lain, jajak pendapat tak punya kemampuan membaca isu hingga ke akarnya dan mustahil mendekati isu itu secara kaffah -- menyeluruh dan integral. Itu tak menarik buat AE yang terbiasa membahas kenaikan harga BBM dengan melibatkan filsafat kebijakan pro-publik dan ontologi pemikiran tentang subsidi negara.
Tetapi AE mendukung penuh jajak pendapat itu. Belakangan saya jadi tahu sebabnya. Jajak pendapat itu, untuk sebagian, memotret arus bawah. Dan arus bawah -- massa periferal, kaum yang terpinggirkan, atau orang-orang biasa yang tak tercatat namanya dalam berita -- adalah unit analisis yang sangat penting bagi AE. Bukan sekadar itu, AE mengorientasikan diri dengan sadar pada kepentingan mereka.
Walhasil, sekalipun sering mengajak berdebat soal kesahihan metodologinya, AE senang karena bisa bersua sebagian suara arus bawah lewat hasil jajak pendapat. Karena itu ia bersemangat mendukungnya.
Ada sebab lain. AE punya keasyikan membaca hasil jajak pendapat dan kemudian menemukan angle-angle penulisan laporannya yang paling kritis dan keras. Data selembek apapun, di tangan AE bisa berbunyi sangat keras. Ini keahlian AE yang tak bisa kami tandingi.
AE Priyono memang guru yang baik tentang sikap. Tentang krisisisme dan persistensi merawatnya. Bacaannya memang cenderung tak seluas Hamid Basyaib -- yang punya energi besar untuk melahap bacaan jenis apapun. Ia lebih fokus. Mungkin karena itu, ia membaca dengan kedalaman. Tak hanya itu, bagi AE, bacaan-bacaan itu adalah pintu untuk menyuarakan lebih benderang dan keras sikap-sikapnya.
AE adalah intelektual yang padai merawat sikap. Bagi saya -- dan saya yakin, bagi banyak orang lain -- AE bukan sekadar Guru melainkan Pendidik para aktivis. Ia tak hanya mengajari tapi mendidik lewat sikap-sikapnya: Bahwa integritas dan sikap teguh mesti selalu disertakan dalam membaca keadaan.
Karena persistensinya dalam bersikap kritis itu, AE termasuk salah satu yang paling sering ditegur Parni Hadi, Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Republika waktu itu. Dari cerita AE, saya juga sempat tahu, beberapa pejabat tinggi Orde Baru pernah "menitipi" teguran-teguran keras untuknya lewat pimpinan Koran. Saya ingat, AE pernah berkomentar soal ini. "Saham Republika dijual ke semua orang. Jadi, kita harus siap ditegur siapa saja karena mereka merasa ikut jadi pemilik koran ini."
Di tangan AE, resensi buku saja bisa sangat keras dan beberapa kali ia kena teguran karena resensinya. Bagi AE, buku yang diulas hanyalah perlengkapan untuk menegaskan sikapnya sendiri.
Di senjakaling Orde Baru, AE semakin terasa unik dan khusus. Saat itu, suara keras dari kalangan aktivis, akademisi dan pengamat sudah makin sering terdengar. Tapi, berbeda dengan kebanyakan mereka, kritik keras AE berdiri di atas fondasi intelektual yang kokoh.
Ia tekun mempelajari keadaan dengan saksama, menyelusup masuk ke sumber-sumber rujukan akademik yang ajeg, lalu bersuara keras. Pada AE, suara keras terbangun di atas tatanan berpikir yang tuntas.
Maka, saya beruntung, di hari-hari pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke Reformasi -- setelah saya tak lagi di Republika -- saya bergaul rapat dengan AE. Respons AE atas perkembangan politik yang bergerak sangat cepat pada masa itu, membantu siapapun di sekitarnya untuk bersikap secara lebih layak. Saya banyak berhutang budi pada AE -- dan sejumlah orang lain -- untuk itu.
Saat itu saya memang sudah tak lagi di Litbang Redaksi Republika. Tepat di ulang tahun saya yang ke-30, di ujung 1997, saya undur diri dari Republika. Nyaris genap tiga tahun saya satu ruangan dengan AE. Kami bertemu hampir setiap hari. Bagi saya, inilah tiga tahun masa pembelajaran dan pembentukan diri yang penting. Dan AE berkontribusi besar di dalamnya.
Saya kemudian tak lagi sering berjumpa apalagi bekerja bersama AE. Kami masih terus terhubung tetapi dengan komunikasi yang putus-sambung. Tersambung biasanya karena ada yang menarik didiskusikan. Atau berbagi literatur baru. Belakangan, saya juga jadi tahu bahwa AE sedang berhadapan dengan beberapa isu kesehatan.
Terakhir kami berkomunikasi agak intens akhir tahun lalu. Pilkada Jakarta 2017 adalah satu topik diskusi kami. Saya kirimi AE catatan-catatan pribadi saya tentang bagaimana rumitnya mengelola meriam liar politik identitas saat itu dan bagaimana sikap saya.
AE pun jadi tahu persis bahwa sikap saya tetap sama seperti yang ia sudah tahu: Politik identitas tak boleh dibiarkan meracuni dan membunuh demokrasi. Lalu, ia berpesan, "Anda wajib tulis ini. Diskusi akan lebih sehat dengan informasi yang lebih lengkap dan berimbang."
Hari-hari ini, "terkurung" dalam rumah karena serangan Coronavirus membuat saya punya waktu lebih lapang, cadangan energi lebih banyak dan konsentrasi yang lebih terjaga. Walhasil, sejak beberapa minggu lalu, saya mulai "menjalankan pesan AE Priyono" itu: Menulis buku tentang dapur kerja dan strategi pemenangan Jokowi-Ahok (2012) dan Anies-Sandi (2017).
Hari-hari ini, "terkurung" dalam rumah, saya punya kesempatan "menjalankan pesan AE Priyono" itu: Menulis buku tentang kerja pemenangan Jokowi-Ahok (2012) dan Anies-Sandi (2017). Pada saat sedang asyik menulis inilah, sebuah berita kurang baik datang. AE sakit serius dan harus dirumahsakitkan.
Hari-hari setelah itu adalah hari penuh was-was. Berharap tak ada berita lebih buruk lagi tentang AE. Tapi Tuhan punya rencana lain. Anang Eko Priyono -- biasa saya panggil Mas AE -- berpulang selepas 61 tahun, lima bulan dan enam hari hidupnya menebar banyak manfaat. Phneumonia di paru-paru kanannya mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Kepergiannya sangat layak diantar ungkapan terima kasih dari banyak sekali orang.
Terima kasih Mas AE. Selamat jalan.
(Bintaro, 13 April 2020)