REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pandemi virus corona telah meningkatkan desakan pelarangan aborsi di sejumlah negara bagian Amerika Serikat. Namun, klinik aborsi yang masih menyediakan layanan tersebut melaporkan adanya lonjakan jumlah permintaan menggugurkan kandungan.
"Panggilan yang kami terima bernada sangat panik. Sebagian pasien datang lebih cepat dari jadwal seharusnya karena mereka takut tidak bisa mengakses layanan kami," kata Julie Burkhart yang mengelola klinik aborsi di Wichita, Kansas, dan Oklahoma City.
Mayoritas pasien adalah para perempuan yang bingung dengan tekanan ekonomi dan masalah kesehatan yang mungkin terjadi akibat Covid-19. Beberapa klinik juga mendapati sejumlah pasien datang ratusan mil dari negara bagian yang melarang aborsi selama pandemi.
Salah satu negara bagian yang sudah menetapkan aturan itu adalah Texas, sehingga pasien mencari klinik di negara bagian lain. Klinik Burkhart di Wichita melaporkan, sejumlah 90 penanganan aborsi pada Maret 2019, melonjak menjadi 252 kasus pada Maret 2020.
Penyedia layanan aborsi di Michigan, Jen Villavicencio, memprediksi permintaan aborsi akan terus meningkat selama pandemi. Banyak pasien mengkhawatirkan bagaimana membayar sewa, menghidupi keluarga, dan mengakses ventilator jika diperlukan.
Planned Parenthood, penyedia layanan aborsi terbesar di AS, melakukan penyesuaian di tengah masa pembatasan sosial. Provider yang berbasis di New York itu memodifikasi prosedur obat aborsi untuk meminimalisasi perjalanan pasien.
Kepala petugas medis Planned Parenthood di pinggiran utara New York, Meera Shah, mengatakan stafnya memperluas pengobatan jarak jauh. Ada banyak pasien yang mencari layanan dan mengatakan ini bukan waktu yang tepat untuk memiliki anak.
"Kami menyediakan obat aborsi yang bisa digunakan petugas gawat darurat saat dia duduk di ambulans. Kami memberikan perawatan aborsi kepada seorang ibu yang berada di rumah dengan anak-anaknya berlarian di belakangnya." kata Shah.
Dokter spesialis kehamilan dari Pusat Medis Universitas Columbia, Anne Davis, mengatakan semua layanan di rumah sakitnya di New York sedang dalam tekanan karena banyaknya jumlah pasien Covid-19. Timnya bahkan merujuk wanita yang ingin aborsi ke klinik.
Salah satu pasiennya yang berkonsultasi sejak merencanakan kehamilan kini justru meminta aborsi karena kondisi medis yang dia miliki membutuhkan beberapa kunjungan ke rumah sakit. Pasien itu takut rumah sakit menjadi tempat yang tidak aman.
Davis merasa sangat prihatin dengan kondisi yang ada. Menurut dia, salah satu tantangan terbesar dalam konseling perempuan hamil saat ini adalah ketidakpastian. Dia sendiri tidak bisa meyakinkan pasien bahwa semua akan baik-baik saja.
"Kami tidak cukup tahu tentang ini sehingga bisa mengatakan kehamilan akan berjalan seperti biasa dan tidak akan ada dampak dari Covid-19. Mereka (ibu hamil) ingin kami mengatakan semua akan baik-baik saja, tapi kami tidak tahu," tuturnya.
Di tengah kondisi demikian, pendukung antiaborsi terus melakukan unjuk rasa di halaman sejumlah klinik. Delapan dari sekitar 50 demonstran di North Carolina ditangkap 4 April silam setelah menolak bubar saat polisi menyerukan aturan social distancing.
Ketika banyak bisnis tutup sementara, pusat kehamilan antiaborsi Care Net yang bermarkas di Virginia tetap buka. Care Net mengawasi sekitar 1.100 pusat yang tetap bersiaga selama pandemi dan mengupayakan penggalangan dana.
Mereka mencatat bahwa kehamilan yang tidak direncanakan dapat meningkat selama karantina mandiri. "Pusat kami perlu menemukan cara kreatif untuk melayani para orang tua dan memberdayakan mereka untuk memilih kehidupan," tulis mereka, dikutip dari AP.