Rabu 15 Apr 2020 15:56 WIB

Dampak Covid-19 Bagi BMT

Mungkin akan muncul secara masif dampak sosial, ekonomi, politik di seantero dunia.

Ilustrasi Pencegahan Covid-19
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Pencegahan Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bagus Aryo, Kepala Divisi Keuangan Mikro Syariah, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah

Sejak pemerintah mengumumkan secara resmi kasus positif Covid-19 pada 2 Maret 2020, kasus yang terkonfirmasi telah menyebar ke 32 provinsi di seluruh Indonesia. Data terkini telah terkonfirmasi 4.557 positif, 399 meninggal, dan 380 sembuh (13/4).

Pada level internasional yang dikeluarkan oleh John Hopkins Coronavirus Resource Center menunjukkan, sudah 1.854.464 orang positif, meninggal 114.331, dan sembuh 435.074 (13/4). Melihat jumlah individu yang terdampak, tak salah Covid-19 sudah menjadi pandemi.

Dalam waktu beberapa pekan, bahkan mungkin hari akan muncul secara masif dampak sosial, ekonomi, dan politik di seantero dunia. Bila kita fokus pada level akar rumput, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) terkena pukulan terbesar.

Tidak dapat dimungkiri, UMKM meru pakan sektor dominan dalam struktur ekonomi Indonesia. Terdapat 64 juta unit UMKM menyerap 117 juta tenaga kerja atau setara 94 persen dari total tenaga kerja (BPS, 2018).

UMKM pun harus menanggung dampak besar karena bergantung pada likuiditas harian (Hawariyuni dan Sakti, 2020). Sebagian besar UMKM ini dapat dikelom pokkan menjadi kelompok rentan miskin, akan menjadi miskin ketika terkena krisis dan bangkrut (Ascarya, 2020).

Namun, apakah hanya UMKM yang terdampak? Bagaimana dengan institusi keuangan mikro syariah yang mengucurkan pembiayaan ke UMKM? Artikel ini membedakan antara istilah lembaga keuangan mikro dan institusi keuangan mikro.

Lembaga keuangan mikro menjadi domain hukum di bawah UU No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga keuangan mikro (syariah) yang dimaksud dalam UU tersebut berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sementara itu, institusi keuangan mikro (syariah) terdiri atas institusi yang berada di bawah pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM, yaitu Koperasi/Unit Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS). Lalu, yang berada di bawah pengawasan OJK, yaitu lembaga keuangan mikro (syariah), yang berada di bawah pengawasan pemerintah daerah dan adat setempat, yaitu lumbung pitih nagari (LPN) dan lembaga perkreditan desa (LPD).

Salah satu bentuk institusi keuangan mikro syariah (IKMS) adalah Baitul Maalwat Tamwil atau BMT yang melakukan intermediasi keuangan pada UMKM. Jumlahnya sangat signifikan di seluruh Indonesia, sekitar 5.500 institusi berdasarkan data tidak resmi.

Masih diperlukan usaha bersama Kemenkop UKM dan OJK untuk menghimpun data BMT menjadi lebih baik. BMT tumbuh dan dikembangkan masyarakat sebagai gerakan dakwah di bidang ekonomi. Sekaligus sebagai self-help bagi umat Islam.

BMT selain berfungsi melakukan intermediasi keuangan juga intermediasi sosial atau peran pemberdayaan pada segmen ultra mikro. Umumnya, segmen ini masih dikategorikan unbankable sehingga memerlukan perlakuan khusus untuk menaikkan kelas.

Selain itu, dalam praktik di lapangan, BMT juga mengemban misi sosial (baitul maal) menghimpun Ziswaf untuk pemberdayaan dan kesejahteraan mustahik. Unsur dakwah mengiringi pelaksanaan tugas keseharian BMT. Hubungan BMT dengan UMKM boleh dikatakan 'mesra'. Rata-rata BMT memberikan pembiayaan di kisaran Rp 10 juta sampai Rp 30 juta.

Kajian yang dilakukan KNEKS tahun 2019 menyimpulkan, sebagian besar pembiayaan ditujukan kepada UMKM. Lalu bagaimana nasib BMT? Sejak resmi di nyatakan adanya positif Covid-19 sebulan lalu, sudah dirasakan beberapa dampak seperti yang diutarakan para pelaku ataupun pengurus BMT. Pertama, adanya unintended conse quences dari pidato Presiden Joko Widodo.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement