REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kesehatan Publik Kanada dan Amerika Serikat telah memperjelas bahwa tidak ada bukti ilmiah tentang pengobatan alami untuk Covid-19. Namun, produk kesehatan alami terus mengeklaim bahwa produk mereka merupakan "obat" untuk penyakit pernapasan yang disebabkan oleh infeksi virus corona tipe baru itu hingga membuat orang-orang tergiring untuk menyakininya.
Anak-anak di Kanada pun khawatir dengan pemahaman orang tua mereka yang menyebut bawang putih dapat menyembuhkan corona. Tetapi, menurut psikolog Steve Joordens, ada alasan logis mengapa ada orang percaya dengan 'obat rumahan' tersebut.
"Tanyakan baik-baik alasan orang tua percaya pada bawang putih, itu lebih baik daripada langsung menentang mereka dan menyebut mereka salah," kata Joordens.
Kepanikan akibat pandemi ini, menurut profesor dari University of Toronto-Scarborough itu, merupakan hal alami yang muncul. Kepanikan kemudian enyebabkan otak manusia mengambil semua informasi, tanpa memikirkan salah-benarnya.
"Ketika kita tidak dapat memprediksi atau memahami sesuatu, kita mulai terobsesi dengan hal-hal tidak masuk akal sekalipun," kata Joordens, seperti dilansir laman Huffington Post.
Panic buying yang membuat rak supermarket kosong, berada di rumah saja, dan belum ditemukannya vaksin dari wabah ini, tentu menimbulkan rasa khawatir dan membuat orang cenderung menerima teori-teori baru apapun. Bias informasi pun juga menjadi alasan seseorang mau percaya pada 'obat rumahan'.
Meskipun setiap orang boleh saja memiliki pandangan berbeda soal obat-obatan, tetapi di tengah pandemi seperti ini, alangkah baiknya untuk tidak menyebarkan informasi salah. Kerabat maupun rekan kita harus mendapat informasi resmi dari pejabat kesehatan serta menghilangkan pemikiran dari informasi negatif.
Sebelum meyakini penyembuhan alami yang merupakan saran dari keluarga, ada baiknya juga dipertimbangkan alasan apa yang mendukung keyakinan mereka itu. Perlu disadari, ada perbedaan antara orang yang memang menyarankan obat alami sesuai dengan manfaatnya atau orang yang hanya ingin kita membeli dagangannya untuk keuntungan semata.
Joordens menyebut, tidak ada yang salah dengan mengonsumsi obat herbal, selama sesuai aturan. Kalaupun tidak bisa menyembuhkan Covid-19, setidaknya itu dapat membantu meningkatkan imun tubuh dari virus-virus lain.
"Kita semua berjuang untuk bisa mengontrol kesehatan masing-masing. Saya tidak melihat adanya kerugian dalam pengobatan berbasis herbal," kata dia.
Tanda mengkhawatirkan
Sekarang waktunya waspada jika melihat dua tanda mengkhawatirkan dari keluarga. Pertama, ketika keluarga membahayakan diri mereka sendiri. Kedua, mereka memilih obat alami daripada langkah-langkah penyelamatan medis.
Sudah banyak beredar mitos-mitos menyimpang, seperti meminum pemutih atau menelan kokain untuk menyembuhkan covid-19, yang jelas membahayakan kesehatan. Lalu, tanda kepercayaan orang terhadap herbal sudah terlalu jauh bisa ditengok pengabaian terhadap imbauan physical distancing dan mencuci tangan.
Perdebatan mungkin tidak akan membantu, jadi ambil langkah pendekatan improvisasi untuk menyanggah informasi yang salah. Seperti yang dicontohkan penulis NBC, Bob Kulhan, ketika kita mengatakan "ya", bukan berarti kita membenarkan atau menyetujui pernyataan lawan bicara. Ini lebih menunjukkan bahwa kita mendengar, dan membuat dialog terasa lebih terhormat.
Misalnya, jika ada seorang anggota keluarga mengatakan bahwa berkumur dengan air garam membuat mereka merasa lebih baik, mungkin akan membantu jika kita menjawab, "Ya, dan penelitian telah menunjukkan bahwa berkumur memiliki efek antivirus, tetapi tidak akan membunuh virus".
Dengan cara ini, maka akan membuat kita dan keluarga berdiskusi tentang khasiat obat herbal dan memiliki pemahaman yang sama bahwa obat untuk Covid-19 belum ditemukan. Mari dorong literasi berita anggota keluarga, karena mungkin mereka meyakini informasi salah dari sumber berita palsu.
Punya kerabat yang terlalu keras kepala dan tidak mau mendengarkan sains? Ini pengalaman yang cukup umum.
Sebuah studi yang dipimpin oleh seorang peneliti Yale Law School menemukan, 'kognisi budaya' atau bias yang dimiliki seseorang ketika melihat informasi yang sesuai dengan pemikiran mereka, memainkan lebih banyak peran. Dan ini mengalahkan fakta-fakta ilmiah yang seharusnya bisa memberikan perubahan.