REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Denny JA
Perasaanku bercampur ketika berjumpa kembali dengan keris pusaka itu. Senang alang kepalang. Akhirnya bisa kumiliki juga keris ini. Di sisi lain, aku sedih mendengar alasan datangnya keris ini padaku.
“Sebelum Ayah wafat,” ujar Surya, Ayah berpesan kepada kami. “Kapan pun kami ada kesulitan, bawa saja keris ini kepada Om Dastan. Nanti Om akan mengerti.”
“Itu wasiat Ayah?” tanyaku.
“Ya Om,” jawab Surya. “Ibu dan adik-adik semua mendengar.”
Terkenang percakapan terakhirku soal keris itu dengan Janu, sahabatku, Ayahnya Surya. Sudah lama ia bercerita menyimpan keris pusaka dari kerajaan Majapahit. Ia mendapatkan dari Ayahnya. Ayahnya dari kakek. Kakek dari buyut. Begitu seterusnya, diwariskan turun temurun.
“Usianya sudah 700 tahun,” ujar Janu. Awalnya aku tak percaya. Tapi kami menyewa ahli mengujinya dengan tenik radiocarbon dating. Benar usia keris ini sekitar 690 tahun-720 tahun. Wah! Sangat langka!
Kala itu aku sudah punya banyak uang. Sejak dulu, aku gila benda antik. Janu menyatakan ada teman Ayahnya menawar untuk membelinya seharga 500 juta. Tidak ia beri.
“Oke, Janu," responku, “Aku beli keris pusaka di harga satu miliar rupiah. Ini mungkin penawaran tertinggi yang pernah kau dengar. Harga ini tak murni bisnis. Tapi sudah kutambahkan juga utang budiku padamu.”
Janu tertawa. “Ini tidak dijual bro. Nanti ini aku wariskan kepada putra sulungku Surya.”
“Tapi Dastan,” ujar Janu, “Keris itu punya kehendaknya sendiri. Percaya atau tidak, keris ini punya nyawa.”
“Jika memang ia jodohmu, satu ketika, ia akan menjadi milikmu,” Janu sangat yakin.
Surya mengamati aku memegang keris sambil merenung agak lama. “Mengapa dirimu ingin jual keris ini, Surya?” tanyaku langsung.
“Bisnis kecil-kecilan saya bangkrut Om. Pegawai sebagian sudah saya PHK. Rumah untuk pabrik roti sudah saya jual juga.”
“Virus Corona ini banyak membuat UKM mati, Om. Puluhan ribu usaha kecil dan menengah di Indonesia bangkrut. Pengaruh virus ini dahsyat. Tapi saya harus bangkit lagi," Surya bersemangat.