REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Di media sosial kini tersebar video soal tindakan keras polisi kepada para pelaku kejahatan setelah ke luar dari penjara. Ada gambar yang menjadi viral di mana tim kepolisian menembak seorang narapidana yang baru ke luar dari penjara karena mendapat pemotongan hukuman akibat pandemi Corona.
Di zaman dahulu pun ada peristiwa serupa, yakni berupa penanganan terhadap tindakan perbanditan di Batavia pada tahun 1900-an yang menarik dan unik. Kisah ini dikutip dari buku ‘Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1852, karya Dr Suhartono yang sempat menjadi Lektor Kepala Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada.
Kisah tersebut menyoal soal bandit atau penjahat kecil-kecilan, Entong Tolo, yang membuat resah warga yang kala itu tinggal di Batavia atau Jakarta. Kisahnya begini:
Entong Tolo, 50 tahun, adalah seorang pedagang asal Podok Hede kemudian pindah ke Pagerrangan, Jatinegara, Ia dikenal sebagai bandit yang berbuat kejahatan, termasuk melakukan pencurian binatang. Ia hidup dalam suasana yang tidak teratur karena hidup bercampur dengan berbagai etnik yang mendiami kota Batavia.
Suasana masyarakat yang tidak ‘menentu’ menyebabkan hilangnya wibawa penguasa dengan kesan tidak ada kekuasaan riil para pegawai pemerinah. Dalam keadaan sepertii ni Entong Tolo mengambil keuntungan dengan membantu petani yang tinggal di tanah partikelir yang menderita berbagai tekanan pajak.
Entong Tolo melakukan sejumlah besar perampokan di tanah partikelir, antara lain di Sawangan, Jatinegara. Masyarakat setempat enggan melaporkan tekanan kepada tuan tanah itu. Ia hidup berpindah-pindah dengan ditemani isteri-isterinya.
Entong Tolo memang punya sikap hidup agak tidak terpuji karena kemudian ia lebih menyukai hidup enak dengan lima orang isteri dari pada melindungi petani yang tertekan. Padahal ia hidup dari ‘kasih sayang’ masyarakat meski sambil hidup melakukan perampokan.
Keterangan Gambar: Rumah tuan tanah di Batavia.
Memang apa yang dilakukan Entong Tolo yang dianggap pemerintah mengganggu keamanan dan ketertiban itu sudah sepantasnya kalau dia ditangkap dan kemudian di buang ke luar Jawa . Rupanya polisi kewalahan untuk ‘memejahijaukan’ Tolo karena polisi tidak punya bukti yang kuat tentang perbuatan kejahatan Tolo. Selain itu tidak ada yang berani bersaksi, baik penduduk setempat dan polisi.
Lagi pula perbuatan Tolo dianggap bukan sebagai pengacauan politik, karena di tempat itu tidak ada penguasa tradisional, tetapi yang ada tuan tanah partikelir. Wibawa pemerintah memang sangat lemah untuk menindak Tolo, meskipun akhirnya ditangkap pada November 1908. Dua anak Entong Tolo, yang pertama dihukum kerja paksa di Bekasi tahun 1904, dan anak kedua dihukum karena menjadi penyamun.
Kasus lain tentang perbanditan berupa pencurian di rumah Gorin yang dilakukan Entong Tolo pada 1906. Pemerintah Hindia Belanda kewalahan untuk menindaknya dan menjebloskan ke dalam penjara.
Ada rasa kekhawatiran kala itu, jangan-jangan keamanan memang bisa reda selama ia dipenjara dan setelah ke luar perbanditannya kambuh lagi, bahkan lebih ganas. Penyelesaian yang diusulkan Residen Batavia agar Entong Tolo di buang ke Manado, dengan tunjangan 10 Gulden/bulan selama enam bulan.