REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji meminta agar Permendikbud yang memperbolehkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk layanan pendidikan berbayar dievaluasi. Kebijakan ini sama saja melimpahkan tanggung jawab guru ke layanan pembelajaran daring berbayar.
"Kalau dana BOS untuk membayar layanan daring berbayar, terus fungsi guru apa? Ini kebijakan yang aneh karena melimpahkan tanggung jawab guru ke layanan pembelajaran daring berbayar," ujar Ubaid di Jakarta, Senin (20/4).
Untuk itu, dia meminta agar Permendikbud tersebut dievaluasi. Ia juga meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) turut mengawasi.
"Ini seperti kejadian dulu waktu diperbolehkannya guru memakai Lembar Kerja Siswa (LKS). Akibatnya, semuanya mengandalkan LKS dan guru tidak banyak berperan," kata dia.
Kemudian, kebijakan penggunaan LKS tersebut dilarang dan dikembalikan pembelajaran sepenuhnya kepada guru. Ubaid menjelaskan jika menggunakan layanan pendidikan berbayar maka akan menunjukkan kelemahan kompetensi guru dalam membuat pembelajaran berbasiskan teknologi.
"Kebijakan ini harus dihentikan, karena tidak berorientasi pada kualitas," cetus dia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) 19/2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud no 8/2020 tentang Petunjuk Teknis BOS Reguler pasal 9A ayat 1 poin A, disebutkan dana BOS diperbolehkan untuk layanan pendidikan daring berbayar.
Sebelumnya, Ikatan Guru Indonesia (IGI) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Inspektorat maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi penerapan Permendikbud tersebut. Terutama terkait untuk pembayaran layanan pendidikan daring.
Ketua IGI Muhammad Ramli Rahim menyebut yang terpenting dalam pembelajaran daring adalah jalinan komunikasi pengajaran dan pendidikan tetap bisa dilakukan di dunia maya, dengan bantuan internet dan ketersediaan kuota data bukan layanan pendidikan berbayar.