REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika
Merujuk penuturannya sendiri, Raden Ajeng Kartini menuliskan pernah berkunjung ke Semarang, Jawa Tengah, pada suatu waktu di 1902. Kunjungan itu nantinya ia ceritakan pada sahabat pena sekaligus mentornya, Rosa Abendanon dalam surat tertanggal 14 Desember tahun itu juga.
Surat itu dimuat dan diberi konteks dalam Kartini-The Complete Writings 1898-1904 (2018) yang disusun serta diterjemahkan dengan baik sekali oleh sejarawan Joost Cote. Meski begitu, tak disertakan dalam Door Duisternis tot Licht (1911) alias “Habis Gelap Terbitlah Terang" yang disusun Abendanon. Bukan rahasia, surat-surat yang diterbitkan dalam “Door Duisternis” cenderung dipilih sesuai kepentingan kolonialistik.
Kartini bercerita dalam surat itu secara panjang lebar tentang perjumpaannya dengan komunitas Arab di Semarang. Yang mereka temui kala itu kalangan sayyid, alias keturunan Rasulullah SAW, khususnya dari cucu beliau Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Joost Cote agak tersesat dalam terjemahan di sini karena ia terkesan menyangka bahwa “sayyid”, yang ia terjemahkan dengan ejaan “Said” adalah marga tertentu.
“Abang saya (Sosrokartono, yang juga ternama) kenal banyak sayyid. Mereka semua orang baik dan taat beragama. Ia kemudian membawa kami bertemu dengan pimpinan komunitas Arab, dan kami mengetahui bahwa ternyata kami punya hubungan,” tutur Kartini dalam surat itu.
Menurutnya, melalui saling tukar cerita, jadi tahulah mereka bahwa kakek sang pimpinan komunitas itu punya hubungan dekat dengan kakek Kartini. Mereka kemudian hilang kontak dan akhirnya bertemu lewat cucu-cucu masing-masing.
Kartini juga menuturkan bersirobok dengan pasangan yang baru menikah di Semarang. Saat itu, sang mempelai perempuan menolak keluar dari rumah sebelum tiga hari berlalu dari pernikahan seturut adat Jawa.
Sang suami, yang merupakan keturunan Arab, menolak hal itu dengan alasan bahwa larangan seperti itu tak ada dalam agama, dan tak berpengaruh terhadap nasib baik atau buruk seseorang. "Mataku bersinar melihat pria itu. Aku ingin menyalaminya. Dia juga orang timur yang terikat adat istiadat, namun bersaksi bahwa adat itu hanya kebiasaan," tulis Kartini dalam surat itu.
Yang tak kalah mengejutkan, Kartini juga mengenang bagimana ia dianggap keturunan Arab oleh keluarga sayyid di Semarang. "Meskipun kau menyangkalnya, matamu tak bisa berbohong. Itu bukan mata orang Jawa tapi mata keturunan Rasulullah (Muhammad). Engkau pasti keturunan sayyid," tulis Kartini mengenang ucapan salah seorang anggota keluarga Arab di Semarang.
Kartini kemudian menuturkan, ia samar-samar mengingat ayahnya, Mas Adipati Ario Sosroningrat sang bupati Jepara, pernah mengatakan hal serupa. Kartini menekankan, ia tak memedulikan klaim asal keturunannya, juga tak merasa perlu meninggikan jalur keluarga para sayyid.
Meski begitu, Kartini membuka kemungkinan bahwa klaim keluarga sayyid di Semarang ada benarnya. Menurut kartini, hidung ayahnya yang mancung memang tak seperti hidung orang Jawa. Adik perempuannya yang paling kecil, Soematri, menurut Kartini, juga memiliki paras Timur Tengah.
"Di rumah kami memanggilnya Raden Ajeng Sripah," tulis Kartini. Sripah adalah saduran Jawa dari "syarifah", gelar untuk perempuan Arab yang memiliki garis keturunan dari Rasulullah.
Kartini juga menuturkan saat abang tertuanya pada satu Lebaran mengenakan pakaian Arab dan dikelilingi orang-orang yang mengiranya benar keturunan Arab. "Pada satu lebaran, dia bersama beberapa pejabat mengenakan pakaian Arab atas permintaan bupati untuk melakukan shalat di masjid. Dia tiba-tiba dikelilingi orang-orang Arab betulan yang bertanya 'sayyid datang dari mana?' karena mereka tak pernah melihat dia sebelumnya,” tutur Kartini.
Benarkah kecurigaan Kartini tersebut? Mari memeriksa faktanya. Yang pertama harus dicek, benarkah sudah ada komunitas keturunan Arab di Semarang seperti yang dituturkan Kartini?
Orientalis Belanda LWC van den Berg, dalam buku kanoniknya, Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1889) menuturkan, orang Arab dari Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara melalui Aceh pada tahun-tahun terakhir abad XVIII. Dari situ, komunitas tersebut kemudian menyebar ke seantero Nusantara. Tak sedikit dari kalangan alawiyin alias para keturunan Rasulullah SAW dari jalur Ali bin Abi Thalib ikut serta dalam gelombang itu.
Menurut Van den Berg, Orang Arab mulai menetap di Jawa setelah 1820. Sementara pada 1970, sudah tercatat populasi orang Arab dan keturunannya mencapai 10.888 orang di Hindia Belanda. Dari jumlah itu, 952 berada di Batavia, kemudian di Cirebon 816 orang, Tegal 204 orang, Pekalongan 608 orang, Semarang 358 orang, serta Surabaya dan sekitarnya mencapai 1.626 orang.
Artinya, klaim Kartini bahwa ia menemui keluarga sayyid di Semarang sangat mungkin benar. Bagaimana dengan garis keturunannya.
Untuk mengetahui ini, Republika.co.id menanyai M Kholidul Adib. Ia adalah sekretaris Komunitas Pecinta Cagar Budaya (KPCB) Demak sekaligus penulis buku Imperium Kasultanan Demak Bintoro (2016). Meski besar di Jepara, awam diketahui bahwa Kartini merupakan keturunan bangsawan Demak.
Kakeknya adalah Pangeran Aryo Condronegoro IV (1845-1864). Condronegoro IV ikut membangun pendopo Kadipaten Demak yang saat ini jadi Kantor Bupati Demak. Di pendopo itulah lokasi Kartini tergugah dengan penjelasan tafsir Alquran oleh Kiai Soleh Darat dan nantinya meminta penerjemahan.
Dari trah Demak itu, menurut kholilul Adib, ada dua kemungkinan jalur leluhur Kartini. Disepakati bahwa bahwa jalur keturunan Kartini mengakar pada sejumlah bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur hingga ulama legendaris dari Blambangan, Lanang Dangiran, yang meninggal pada awal abad ke-17.
“Dari ini ada beberapa versi. Satu versi leluhur Kartini yang Lanang Dangiran alias Ki Ageng Bronjong Putih adalah turunan Sunan Giri atau cicitnya sehingga Kartini merupakan turunan ke-12 dari Sunan Giri. Tapi versi lain menyebut Lanang Dangiran bukan turunan Sunan Giri tapi turunan Menak Soemadi,” kata Kholilul Adib, Senin (20/4). Sementara Sunan Giri merupakan putra Maulana Ishak Ibrahim yang awam dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW. Dari sinilah belakangan juga muncul spekulasi bahwa Kartini merupakan syarifah.
Seperti kebanyakan anggota Walisongo lainnya, Sunan Giri kerap disebut sebagai dzurriyah Rasulullah SAW. Para sunan kala itu, disebut merupakan keturunan Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih. Abdul Malik merupakan sayyid dari Hadramaut yang berhijrah ke India pada abad ke-14. Di India, ia mendapat gelar Azmatkhan. Singkat cerita, keturunan Azmatkhan inilah yang kemudian menyebarkan Islam ke seantero Asia Tenggara, termasuk ke Jawa.
Seiring waktu, para lelaki fam Azmatkhan kerap menikahi perempuan lokal. Hasil pernikahan-pernikahan tersebut yang kemudian diklaim jadi cikal bakal banyak penguasa kerajaan-kerajaan di Tanah Air. Para bangsawan di Palembang, Banten, Jawa, tak sedikit yang mengklaim datang dari garis keturunan tersebut.
Klaim-klaim tersebut pada akhirnya membikin kabur soal sahih tidaknya pohon silsilah milik masing-masing bangsawan. Ini juga kasusnya pada runtutan silsilah Kartini jika hendak diklaim berakar hingga Rasulullah SAW.
“Sampai saat ini tidak ada dasar sama sekali, atau data sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan, yang menyebutkan bahwa RA Kartini adalah seorang syarifah,” kata Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Habib Zein bin Umar Smith kepada Republika.co.id.
Beliau menekankan, setiap pengakuan seorang adalah sayyid atau syarifah, harus ditunjang dan dikuatkan dengan data-data valid di al-Maktab Addaimi, Rabithah Alawiyah. Sejauh ini, catatan asosiasi alawiyin di Indonesia itu adalah salah satu yang paling rapi di dunia.
Habib Zein menekankan, hal itu sama sekali tak menyampingkan peran Kartini sebagai pahlawan kaumnya. “Kita semua mengetahui dan menghormati bahwa beliau adalah pahlawan nasional wanita yang berperan besar menginspirasi kaum perempuan Indonesia pada zamannya, tetapi tidak ada satupun bukti sejarah yang mengkaitkan dengan silsilah Bani Alawi,” ujar Habib Zein.
Seperti yang ditekankan Kartini dalam surat 12 Desember 1902-nya, ia juga sedianya tak memusingkan betul perihal tersebut. Yang sukar diabaikan, dalam surat-surat pada akhir 1902 tersebut ada kerinduan dan kesadaran pada akarnya, baik itu kebudayaan Jawa maupun agama Islam.
“Jika pada awalnya ia menghindari menceritakan soal latar pendidikan Islam dan Jawa kepada Rosa (Abendanon) dan sangat kritis terhadap posisi perempuan di agama, Kartini kini mengungkapkan kecintaannya pada Islam yang menenteramkan dan personal,” tulis Joost Cote menelaah surat-surat Kartini sepanjang 1902.
Dalam konteks itu, menurut Cote, Kartini bermain-main dengan ide bahwa ia bisa jadi seorang syarifah, putri dari garis keturunan yang istimewa. “Apa pendapat Moeke (panggilan Kartini untuk Rosa Abendanon)? Apakah aku akan tetap jadi gadis kecilmu jika aku bukan murni orang Jawa? Orang Arab juga bisa mencintai dengan hati mereka sepenuhnya dan jadi orang baik. Kami pikir ini hal yang indah...," ujar Kartini menantang. n