REPUBLIKA.CO.ID,
(Refleksi Hari Kartini Di Tengah Pandemi)
Oleh Vina Fitrotun Nisa dan Rizki Iramdan Fauzi*
Wahai penerus kartini, selebrasi apa yang kalian lakukan pada hari ini? Membaca puisi, mengikuti lomba menyanyi, berdiskusi atau melakukan orasi? Mungkin di tengah pandemi COVID-19, para anggota organisasi hanya dapat melakukan selebrasi sederhana, tepatnya dengan memanfaatkan teknologi yang ada.
Faktanya, pandemi ini memaksa umat manusia untuk berdiam di rumah dan membatasi segala aktivitas di luar. Tapi, nafas perjuangan Ibu Kita Kartini harus tetap digaungkan, salah satunya dengan kembali berkontemplasi atas segala perjuangan dan jasa Kartini. Tentunya diikuti dengan memanifestasikannya dalam segala aspek kehidupan.
Tapi pertanyaan serupa kembali muncul, mengapa selebrasi Hari Kartini perlu kita lakukan. Mari kita sejenak kembali ke masa lalu disaat keadilan sulit ditegakkan dan akses pendidikan hanya mudah diperoleh oleh kalangan tertentu saja. Pada kondisi sulit tersebut muncullah keberanian untuk keluar dari kegelapan (semangat perjuangan).
Habis Gelap Terbitlah Terang, seperti karya yang ditulis Kartini, begitulah kehidupan. Namun semua tidak dijalani hanya dengan berdiam diri. Keadilan dan kesetaraan itu perlu perjuangan yang mendobrak batas dan pengorbanan yang amatlah berat.
Selama hampir tujuh dekade peringatan Kartini dilaksanakan, hampir seluruh refleksi menempatkan perempuan sebagai objek, yaitu perspektif bagaimana dunia melihat perempuan, bagaimana keadaan membuat perempuan diperlakukan tidak adil, bukan sebaliknya.
Bahkan tri mantra “Dapur, Kasur, Sumur” yang melekat pada Kaum Perempuan rupanya belum pudar dan di sebagian masyarakat masih eksis. Selain itu peran perempuan banyak dikerdilkan hanya dengan dua peran sederhana yaitu domestik dan publik.
Perempuan sebenarnya memiliki pola hubungan yang tidak terbatas. Selain menjaga interaksi dengan manusia ia pun harus menjaga keseimbangan dengan alam.
Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana menempatkan perempuan sebagai subjek khususnya perempuan sebagai aktor dalam menjaga lingkungan
Berbicara Kartini sebenarnya bukan hanya belajar tentang semangat emansipasi, diluar itu masih banyak pelajaran yang dapat kita petik seperti semangat perjuangan, Apakah kesetaraan akan terjadi dengan sendirinya tanpa adanya sebuah gagasan? Jawabannya tentu tidak. Kesetaraan adalah jerih payah dari kolaborasi para feminis baik laki-laki maupun perempuan dan semangat kepeloporan RA Kartini yang patut kita banggakan. Untuk menjadi penerus kartini, marilah kita meniru semangat juang dan inisiatifnya.
Kartini dan modernisasi
Titik temu antara kartini dan modernitas sebenarnya dapat ditelusuri dari latar belakang munculnya pemikiran emansipasi. Agenda tersebut hadir ditengah kondisi masyarakat yang masih terbelakang dan patriarki.
Sama halnya dengan teori modernitas yang diungkapkan oleh Weber yang diartikan sebagai rasionalisasi. Masyarakat modern yang memiliki karakteristik pemikiran yang rasional tidak akan mentolerir perlakuan diskriminatif. Sehingga pemikiran Kartini senada dengan agenda modernisasi.
Sejalan dengan teori modernisasi yang digagas Weber, Gidden menambahkan karakteristik masyarakat modern sebagai pribadi yang dinamis. Sama dengan kondisi dunia yang semakin modern, pengaruh tersebut sampai ke Indonesia. Karakteristik tersebut memudahkan pemikiran emansipasi kartini menyebar dan meluas. Apalagi dengan ditetapkannya RA Kartini sebagai pahlawan nasional, setiap tanggal 21 April dijadikan refleksi khusus untuk mengenang jasanya.
Sayangnya, dunia modern membawa dampak negatif secara global, salah satunya adalah kerusakan alam. Eksploitasi yang telah lama dilakukan oleh manusia tanpa kendali telah membawa dampak buruk bagi lingkungan. Modernisasi telah membuat hidup manusia menjadi praktis, segala kebutuhan hidup dapat diperoleh dengan instan. Ironinya semua bahan yang disulap menjadi mesin dan peralatan tersebut seluruhnya bersumber dari alam.
Salah satunya adanya produksi alat transportasi yang bahan-bahannya berasal dari besi, baja, karet dsb untuk memudahkan mobilisasi manusia. Untuk menjalankan kendaraan tersebut manusia menggunakan minyak, untuk menerangi rumah kita mengandalkan batubara, hingga persediaannya kini tinggal puluhan tahun lagi di bumi.
Untuk mengisi furniture rumah kita juga bergantung pada olahan kayu dan rotan hingga menyebabkan hutan gundul dan tidak hijau kembali. Populasi yang terus bertambah membuat polusi udara semakin parah.
Realitanya kondisi bumi kita semakin memburuk. Dari hulu hingga hilir sumber daya kita dijarah dan dimanfaatkan tidak pada tempatnya, alhasil fungsi alam untuk memberikan nafas kehidupan menjadi terganggu.
Hampir tiap periode fenomena kerusakan dan KARHUTLA terus terjadi. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat pada tahun 2019, hampir 328 ribu Ha lahan terbakar. Pun, Forest Watch Indonesia mendata angka laju penebangan hutan selama 2013-2017 mencapai 1,47 juta Ha. Hal ini turut diperparah dengan tingkat polusi udara akibat lonjakan populasi penduduk yang tinggi.
IQ Air menyatakan Indonesia menjadi negara keenam dengan tingkat polusi tertinggi. Sejumlah kondisi tersebut akhirnya menuntut semua manusia, salah satunya generasi penerus Kartini untuk ikut andil dalam upaya memulihkan bumi. Andil ini perlu dibuktikan dengan menjadi Kartini Bumi.
Menjadi Kartini bumi
Menjadi kartini bumi dapat dilakukan dengan aksi dan edukasi. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan aksi. Terdapat berbagai aksi sederhana yang jika lakukan secara konsisten akan memiliki dampak positif yang signifikan. Misalnya di tengah pandemi ini, kita dapat mengurangi intensitas bepergian dengan menggunakan moda transportasi. Dengan cara tersebut kita telah memberikan kontribusi dalam mengurangi emisi dan juga mencegah penyebaran Covid-19 tentunya.
Aksi selanjutnya yang dapat kita lakukan adalah dengan menanam pohon, tak perlu banyak cukup satu saja tetapi harus dirawat dengan baik dan berkelanjutan. Jika semangat menanam satu pohon “one person one tree” ini menular ke 6 miliar manusia yang ada di bumi ini, maka mulai hari ini bumi memiliki 6 miliar pohon baru yang siap memerangi polusi. Langkah ini jika konsisten dilakukan dan dikampanyekan secara terus menerus, maka di masa mendatang akan membuahkan hasil yang optimal bagi kelestarian bumi.
Disamping itu perempuan dapat melakukan kontribusi melalui edukasi langsung atau tidak langsung. Harus diakui perempuan memiliki peran yang lebih besar dibandingkan laki-laki dalam interaksi sosial. Perempuan meskipun dapat membagi peran dengan laki-laki dalam kehidupan domestik namun tak dapat dipungkiri secara alamiah ia tak dapat bertukar peran sebagai Ibu. Posisi inilah yang kemudian akan memberikan pengaruh kelak terhadap nasib generasi yang akan datang. Seberapa terlibat ia dalam pengasuhan dan bagaimana pola interaksi yang ia lakukan sebagai orangtua.
Dengan menjadi Ibu, perempuan dapat memberikan edukasi bagaimana cara merawat dan melestarikan bumi. Dengan menjaga dan mendidik generasi mendatang tentang hal tersebut ia telah memberikan kontribusi langsung untuk tetap melestarikan bumi. Mewariskan nilai-nilai luhur dan cinta terhadap lingkungan sama saja dengan mewariskan alam yang lebih baik untuk generasi mendatang. Anak-cucu kita berhak menikmati alam yang indah dan terjaga oleh karenanya sebagai bentuk syukur kepada yang maha kuasa, edukasi dan aksi harus diselaraskan dalam satu jiwa