REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini beberapa negara melaporkan bahwa sejumlah pasien yang sudah dinyatakan sembuh kembali positif Covid-19 saat dites. Beberapa negara yang telah melaporkan kasus seperti ini adalah Korea Selatan dan India. Apa penyebabnya?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam keterangan resminya pada Jumat (17/4) menyatakan ketidakyakinannya terhadap kemampuan antibodi dalam darah memberikan perlindungan maksimal terhadap reinfeksi virus corona. WHO pun menduga, meski antibodi seharusnya bekerja efektif menangkal reinfeksi, sejumlah besar orang sepertinya tidak mengembangkan antibodi dalam tubuh mereka (serokonversi).
"Ini masih baru, jadi masih harus kita pelajari lagi," ungkap dokter spesialis anak dr Arifianto SpA dalam talk show online bertema "Covid-19 pada Anak: Apa yang Harus Diketahui Orang Tua?" yang diselenggarakan oleh Inisiatif Zakat.
Terlepas dari itu, pria yang akrab disapa dokter Apin ini mengungkapkan beberapa kemungkinan yang membuat fenomena ini terjadi. Salah satu kemungkinan tersebut adalah virus penyebab Covid-19, yaitu SARS-CoV-2, kemungkinan memiliki banyak strain.
Arifianto mengatakan, secara umum seseorang yang pernah terkena infeksi virus dan sembuh akan memiliki antibodi. Antibodi ini dapat memberikan proteksi agar orang tersebut tidak kembali sakit akibat infeksi yang sama.
Bila SARS-CoV-2 memiliki banyak strain, ada kemungkinan seseorang bisa terkena Covid-19 lebih dari sekali akibat infeksi dari strain virus yang berbeda. Alasannya, saat seseorang terkena infeksi virus dari satu jenis strain dan sembuh, dia hanya akan memiliki antibodi terhadap strain tersebut. Dia tidak memiliki antibodi untuk strain lainnya.
Arifianto mencontohkan bila seseorang terinfeksi SARS-CoV-2 dengan strain "A" kemudian sembuh, dia akan memiliki antibodi sehingga tidak akan kembali sakit akibat infeksi SARS-CoV-2 dari strain "A" tersebut. Namun, orang itu masih memiliki kemungkinan untuk sakit akibat infeksi SARS-CoV-2 dari strain "B".
"Karena strain-nya beda, dia enggak punya kekebalan pada si strain baru (B)," kata Arifianto.
Namun, hal ini masih berupa kemungkinan. Hingga saat ini belum ada data yang menyatakan bahwa SARS-CoV-2 memiliki strain yang bermacam-macam.
Kemungkinan lainnya adalah antibodi yang terbentuk setelah seseorang terinfeksi SARS-CoV-2 hanya memberi kekebalan dalam jangka pendek. Hal ini membuat seseorang yang sudah sembuh bisa terinfeksi kembali oleh virus yang sama setelah perlindungan dari antibodi tersebut tak lagi ada.
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (KCDC), Jeong Eun-kyeong, menyatakan bahwa virus corona mungkin "aktif kembali". Mereka yang positif Covid-19 lagi diduga bukan tertular untuk kedua kalinya.
Di lain sisi, pihak otoritas kesehatan juga belum dapat memastikan apa yang sesungguhnya terjadi pada kecenderungan tersebut, selagi penyelidikan epidemiologis masih berjalan. Menurut pakar kesehatan, hasil tes yang keliru juga bisa menjadi penyebab. Selain itu, bisa jadi sisa infeksi virus masih berada dalam sistem tubuh pasien, tetapi tidak dapat menjangkiti orang lain.
"Ada interpretasi yang berbeda-beda serta banyak variabel. Pemerintah perlu bersiaga untuk merespons setiap variabel tersebut," ujar profesor kedokteran paru-paru di Rumah Sakit Sacred Heart Universitas Hallym itu.
Hingga saat ini, peneliti dari berbagai belahan dunia masih berupaya mendapatkan pemahaman yang lebih baik seputar Covid-19 dan SARS-CoV-2. Karena masih terbatasnya pengetahuan terhadap Covid-19 saat ini, hal terbaik yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah melaksanakan beragam upaya pencegahan penularan. Salah satunya dengan berdiam diri di rumah.
"Orang yang sudah sakit itu bisa mengalami reinfeksi, bisa mengalami infeksi baru, dan bisa saja dia masih sakit lagi. Ini berita buruk sebenarnya. Tapi, ya sudah, kita tetap di rumah saja dulu," ungkap Arifianto.