REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) melakukan survei tentang dampak Covid-19 terhadap industri perbukuan. Berdasarkan survei tersebut, sebagian besar anggota Ikapi mengalami penurunan penjualan akibat Covid-19 ini.
Pada Kamis (23/4) bertepatan dengan Hari Buku Sedunia, lima organisasi bidang perbukuan dunia mendesak pemerintah di seluruh negara untuk mendukung industri perbukuan di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah seluruh negara juga harus menggelorakan pentingnya buku.
Ikapi merupakan anggota dari International Publishers Association (IPA). Ketua Umum Ikapi Rosidayati Rozalina mengatakan, organisasi perbukuan internasional memberi dukungan agar setiap negara masing-masing juga mendesak pemerintah agar memberikan dukungan terhadap industri perbukuan.
"Kami membuat survei tentang dampak Covid-19 terhadap industri perbukuan, juga sekaligus menyampaikan pesan dari organisasi internasional, juga menyampaikan hasil survei kami dari anggota Ikapi yang sudah disampaikan kepada pemerintah," kata Rosidayati, dihubungi Republika, Kamis (23/4).
Di dalam survei tersebut, dijelaskan sebagian besar merasakan dampak kerugian dari Covid-19. Lebih dari 50 persen anggota Ikapi mengalami penurunan pendapatan selama pandemi ini berlangsung.
Apalagi, lanjut Rosidayati, penerbit-penerbit yang ada di daerah. Sebagian besar dari mereka mengandalkan pemesanan melalui dinas atau perpustakaan daerah. Namun, selama pandemi ini tidak ada pemesanan sama sekali.
Belum lagi harus menghadapi pembajakan yang semakin marak di era digital. "Kita berharap, pemerintah memberikan perhatian lebih, juga bisa ikut membantu agar industri perbukuan segera pulih," kata Rosidayati menambahkan.
Sementara itu, Ketua Ikapi DKI Jakarta Hikmat Kurnia, menjelaskan salah satu dampak yang bisa dilihat secara langsung adalah menurunnya pengunjung toko buku. Selain itu, bagi daerah yang menjalankan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) toko buku harus ditutup.
"Jadi sekarang penerbit mengandalkan penjualan buku lewat jalur online, baik lewat internet marketing, marketplace, atau sejenisnya," kata Hikmat.
Walaupun demikian, Hikmat mengatakan pasar offline masih mengambil porsi yang sangat besar. Setidaknya, pasar offline mengambil porsi 80 persen dari pasar buku nasional.
Di dalam kondisi pandemi ini, suka tidak suka para pegiat dunia perbukuan harus bergerak dalam ranah online. Menurut Hikmat, pola pemasaran secara online harus dioptimalkan. Selain itu, tata kelola bisnis dunia perbukuan perlu ditata ulang.
Kondisi dunia perbukuan memang sangat terganggu dengan pandemi ini. Namun, Ikapi Jakarta berharap agar para pegiat perbukuan bisa tetap berpikir optimis, jernih dan strategis.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Literasi Indonesia Wien Muldian mengingatkan agar pemerintah memperhatikan maraknya pembajakan buku. Sebab, di tengah semakin banyaknya buku elektronik semakin banyak pula pembajakan yang terjadi.
Menurutnya, masalah pembajakan bukan masalah sulitnya mendapatkan buku tersebut. Namun, memang ada rasa tidak menghargai sehingga para pembajak tanpa rasa bersalah melakukan pembajakan.
"Sekarang kan ranahnya multimoda, bisa tidak hanya buku cetak," kata Wien.
Intervensi teknologi memudahkan orang untuk mengakses dan membaca buku. Namun, di satu sisi, hal ini harus disiapkan dengan peraturan yang baik agar para penulis tidak mengalami kerugian karena pembajakan.
"Jadi sebenarnya kalau kita mau cari yang nonbajakannya enggak susah, tapi ini kan masalah etika kita menghargai atau tidak," kata Wien menambahkan.