REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Fuady, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
Sepasukan tentara, siang itu, tiba di Al Maghmas –sebuah daerah tak jauh di pinggiran kota Mekkah. Bekas debu Yaman di pakaian mereka hampir hilang setelah menempuh perjalanan panjang hingga ke Thaif, dan kini menjelang Mekkah. Satu per satu tentara turun merampas ternak yang ada di sekelilingnya, termasuk dua ratu unta milik Abdul Muthallib, seorang terpandang di kota Mekkah.
Abrahah, pemimpin pasukan itu, tengah memberi umpan, menarik pelatuk keresahan orang-orang Mekkah. Pasukannya dalam rombongan besar jelas tak akan mampu dilawan oleh orang-orang Quraisy yang menjaga Ka’bah meski tak lihai berperang. Ketika seorang lelaki bernama Hannatah al Himyari diutus Abrahah untuk mencari Abdul Muthallib, kerendahan diri orang-orang Quraisy terpancar jelas.
“Kami tidak berniat untuk memeranginya. Kami juga tidak mempunyai kekuatan untuk itu,” jawab Abdul Muthallib.
Kedatangan Abrahah ke Mekkah adalah upaya destabilisasi konstruksi keagamaan global pada masa itu. Mekkah, bersama Ka’bah, sejak lama dicemburui banyak kaum karena selalu menjadi pusat perhatian umat seluruh dunia sebagai tempat ibadah suci.
Mekkah dan Ka'bah juga menjadi pusat perdagangan dan wisata religi yang paling menguntungkan dengan banyaknya orang yang hilir mudik berziarah. Quraisy, suku utama yang tinggal di radius paling dekat dengan Ka’bah, adalah penikmat gelimang keuntungan dari itu semua.
Kaum Ghassan pernah mendirikan rumah ibadah suci di Hira. Abrahah pun, setelah menguasai Yaman, membangun sebuah rumah suci semacam gereja yang super besar dan didaulatnya sebagai pusat keagamaan baru dunia di Sana’a (1). Segala cara ia lakukan untuk mengubah arus konstelasi ziarah dunia dan memindahkan pusat perhatian agama dari Mekkah ke Sana’a.
Pertarungan politik-agama semacam ini tak lekang oleh zaman –dalam konteks dan skalanya masing-masing. Masing-masing kelompok berebut pengaruh: siapa yang paling besar daya tariknya. Tuhan dan spiritualitas dimarjinalkan, lalu digantikan oleh rasa dahaga terhadap legitimasi kekuasaan dan ekonomi. Pengajian tak lagi menjadi sumur jernih untuk mendekat kepada Rabb, tetapi ruang untuk menepuk-nepuk dada sendiri sebagai yang terhebat dan terbaik, sekaligus menjelek-jelekkan kelompok lain yang dianggap tak murni, tak putih, tak lurus, dan tak benar.
Masjid barangkali didirikan secara megah dengan arsitektur mewah, tetapi menjadi sekadar daya tarik bisnis. Kumpulan orang yang datang, serobongan peziarah yang berwisata. Bahkan, jalur-jalurnya telah dipetakan dalam paket-paket wisata religi. Lengkap dengan kompleks pemakaman, hotel dan wisma, toko pernik oleh-oleh, lokasi pemandangan, dan para juru dakwah yang menjadi pemandunya.
Abrahah, dan para pendahulunya, telah memulai perkara geser-menggeser magnet politik-agama. Sialnya, niat menjadikan Sana’a sebagai pusat keagamaan baru dunia terlacak dan tak disukai orang-orang Arab.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook