Senin 27 Apr 2020 19:05 WIB

Berbuka Bersama lewat Video

Pandemi covid-19 membuat Ramadhan tahun ini menjadi sangat berbeda.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Inilah Ramadhan yang istimewa, akan dikenang siapa pun sepanjang hidupnya. Ramadhan paling bersejarah, yang bisa diceritakan kepada anak-anak dan cucu-cucu sekian puluh tahun kemudian. Ramadhan ketika masjid, surau, dan mushalla justru ditutup, kosong melompong, sepi jamaah.

Ramadhan ketika tidak ada buka bersama di masjid, di hotel, di rumah kawan atau saudara, dan di tempat-tempat lain. Ramadhan yang sepi. Tidak ada mudik, tidak ada pulang kampung, tidak ada sungkeman ke orangtua dan bersilaturrahim ke sanak saudara. Tidak ada baju baru dan tidak ada acara-acara kegembiraan seperti biasanya ketika Ramadhan tiba.

Pengeras suara dari masjid, surau, dan mushalla pun sepi. Tidak ada suara tadarusan membaca Alquran, tidak ada tarawih, tidak ada suara anak-anak bercanda-ria di dalam masjid. Semuanya senyap. Hanya suara azan yang rutin berkumandang mengingatkan orang untuk shalat lima waktu. Selebihnya sepi, senyap.

Coronavirus atau yang biasa disebut Covid-19 telah mengubah segalanya. Coronavirus telah menjadi wabah yang mendunia di Ramadhan kali ini. Semua orang dibayangi oleh kematian dan kekhawatiran akan infeksi virus yang gampang menular ini, termasuk sekitar 1.8 miliar umat Islam di berbagai negara, yang kini sedang menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Semua negara, dengan cara yang berdeba-beda, kini sedang fokus menghalau penyebaran Coronavirus yang hingga Sabtu (25 April) lalu menginfeksi lebih dari 2,7 juta orang di seluruh dunia. Sejumlah lebih dari 190 ribu orang di antaranya meninggal dunia. Cara-cara itu dari yang lockdown total, lockdown terbatas, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti Indonesia, dan seterusnya. Intinya adalah membatasi pergerakan manusia agar tidak tertular Covid-19. Dan, pembatasan yang terbaik adalah dengan cara berdiam diri di rumah masing-masing. Bila terpaksa keluar rumah harus menjaga jarak dan memakai masker.

Akibat dari semua itu, segala aktivitas orang per orang harus dilakukan di rumah, termasuk beribadah di bulan Ramadhan ini. Penutupan masjid, surau, mushalla, serta seruan untuk beribadah di rumah, khususnya selama Ramadhan, tentu bukan hanya berlaku di Indonesia. Hampir semua negara juga menerapkan hal yang sama. Berikut potret umat Islam di beberapa negara yang menjalani ibadah Ramadhan di tengah mewabahnya Coronavirus.

Di Arab Saudi, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, Masjid al Haram dan Masjid Nabawi ditutup sejak beberapa hari lalu dan terus berlangsung hingga entah kapan. Untuk pertama kalinya pula, ibadah umrah yang biasanya membludak selama Ramadhan ditangguhkan. Begitu pula ibadah haji tahun ini. Mekah dan Madinah pun tampak senyap bagaikan kota hantu.

Bukan hanya menangguhkan ibadah umrah dan haji, pemerintah Saudi juga menutup semua masjid di negeri itu. Mufti Arab Saudi, Sheikh Abdul Aziz Al Sheikh, telah mengeluarkan fatwa agar shalat tarawih dan shalat Idul Fitri dilaksanakan di rumah. Pemerintah Saudi akan tetap menyiarkan shalat tarawih setiap malam ke dunia Islam lewat televisi atau internet, namun tanpa jamaah.

Bagi pemerintah Saudi, penundaan ibadah umrah dan haji tentu merupakan kerugian besar di bidang ekonomi. Sejak beberapa tahun lalu, Saudi telah mencangkan diversifikasi pendapatan negara selain minyak. Antara lain dengan menggenjot jumlah turis asing. Ibadah umrah dan haji dikatagorikan sebagai wisata rohani. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini ekonomi Saudi sedang terganggu, antara lain keterlibatannya dalam konflik regional — konflik di Yaman — dan anjloknya harga minyak dunia.

Di Yerusalem, Masjid al Aqsa, kiblat pertama dan tempat suci ketiga umat Islam, juga ditutup. Mufti Yerusalem dan Palestina, Sheikh Muhammad Husein, meminta agar umat Islam melaksanakan shalat tarawih dan kegiatan Ramadhan lainnya di rumah masing-masing. Hal yang sama juga terjadi di Yordania. Menteri Wakafnya, Muhammad al-Khalayleh, menekankan masjid-masjid tidak akan dibuka. Ia menyerukan warga Yordania shalat tarawih dan Idul Fitri di rumah.

Di Mesir, Grand Sheikh Al-Azhar, Dr Ahmad Tayib, menyerukan umat Islam untuk beribadah di rumah selama Ramadhan ini. Ia juga meminta semua masjid ditutup, sebagai langkah untuk menghalau penyebaran Covid-19. ‘’Saya tahu umat Islam menyambut bulan Ramadhan ini dengan kesedihan yang mendalam karena tidak bisa beribadah di masjid-masjid,’’ ujarnya.

Ia juga minta kepada umat Islam untuk tidak terpengaruh oleh pandangan yang menganggap puasa bisa melemahkan sistem kekebalan tubuh. Menurutnya, pandangan seperti itu sangat tidak berdasar. Sebelumnya, Mufti Besar Mesir Sheikh Dr Syauqi Ibrahim Abdul Karim Allam menyatakan, kekhawatiran tertular Covid-19 tidak boleh dijadikan alasan bagi umat Islam untuk tidak berpuasa. Menurutnya, puasa justru memperkuat sistem kekebalan tubuh.

Sebuah laporan The New York Times menyebutkan, selama keberadaan Al Azhar lebih dari 1000 tahun, masjid-masjid di Mesir selalu terbuka untuk ibadah. Bahkan ketika terjadi wabah pada abad 14, kolera pada abad 19, dan flu Spanyol — yang juga dikenal sebagai pandemi flu 1918 — yang menyebabkan kematian 140 ribu warga Mesir. Media itu, mengutip pernyataan para sejarawan, menyebutkan, masjid mempunyai peran penting dalam masyarakat Mesir. Antara lain sebagai tempat mencari perlindungan dan dukungan spiritual dari segala masalah pelik, termasuk dalam menghadapi wabah.

Di Irak dan Iran, pemerintah telah melarang ziarah ke tempat-tempat suci Syiah, selain penutupan masjid-masjid. Belum diketahui berapa kerugian yang diderita di sektor wisata rohani ini.

Sementara itu, sejumlah negara telah melonggarkan aturan ketat yang diambil sebelumnya, sehubungan dengan datangnya bulan Ramadhan. Di Uni Emirat Arab (UEA) misalnya, Keemiran Dubai memutuskan untuk membuka kembali pusat perbelanjaan dari tengah hari hingga pukul sepuluh malam, dengan membatasi jumlah pengunjung hanya 30 persen dari kapasitas. Lembaga amal di Abu Dhabi pun bingung bagaimana menyajikan buka puasa kepada para pekerja asing dengan gaji rendah selama masjid-masjid ditutup dan kerumunan orang dilarang.

Di Palestina, otoritas negara itu telah menyetujui untuk memberi kemudahan bagi sektor-sektor ekonomi dan transportasi selama Ramadhan, sementara di Tunisia jam malam dikurangi dari 12 menjadi 10 jam. Sedangkan di Yaman, pemerintah telah memutuskan untuk mencabut jam malam di Provinsi Hadramaut yang terletak di sebelah timur negara. Sebelum konflik di Yaman, banyak mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Hadramaut.

Wabah Coronavirus yang terus berlangsung di bulan Ramadhan ini tidak hanya berpengaruh pada ibadah puasa itu sendiri, namun juga berakibat pada hal-hal lain seperti shalat berjamaah, shalat tarawih, i’tikaf di masjid, berbuka bareng keluarga besar, teman-teman, dan handai tolan.

Covid-19 dan aturan-aturan yang menyertai ternyata mempunyai dampak pada tradisi di masyarakat. Salah satunya tidak adanya pasar-pasar, termasuk pasar kaget yang menjadi ciri bulan Ramadhan — baik yang menjual makanan maupun pakaian. Berbuka puasa dan sahur pun hanya terbatas pada keluarga kecil di rumah, tanpa bisa mengundang teman, tetangga, dan saudara.

Dalam kondisi seperti ini, mungkin ada baiknya kalau kita mulai berpikir daripada berbuka puasa dan sahur sendirian dan sepi lebih baik kita makan dan ngopi bersama, namun melalui video atau hubungan internet, masing-masing di rumahnya sendiri.

Selamat menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Kullu ‘aamin wa antrum bikhoirin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement