REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Andi Rahmat, Pelaku Usaha/Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI
Akhir-akhir ini ramai dibicarakan di kalangan pengambil kebijakan perekonomian nasional mengenai suatu kebijakan pelonggaran moneter/quantitative easing (QE) dalam menghadapi pemburukan perekonomian akibat pandemi Covid 19.
Kebijakan mencetak uang (QE) dianggap sebagai alternatif solusi bagi upaya mempertahankan momentum perekonomian Nasional. Cerita sukses kebijakan ini dalam mengatasi krisis keuangan global tahun 2008, serta merta menjadi semacam “panacea” bagi krisis ekonomi yang terjadi sekarang.
Kesuksesan kebijakan ini di tahun 2008 bukan saja karena berhasil menahan keruntuhan sistem keuangan global di masa itu, tapi juga mengembalikan momentum pertumbuhan ekonomi global kearah yang lebih baik.
Dan yang makin membuatnya menjadi model sukses adalah karena juga terbukti tidak berakibat pada inflasi tinggi, terutama di negara-negara yang besar-besaran melakukan kebijakan ini. Seperti Inggris dan Amerika Serikat.
Mencetak uang, di mana-mana memang merupakan tugas utama bank sentral. Yang membedakan QE dengan pencetakan uang dalam keadaan normal adalah karena jumlahnya yang sangat besar, di luar “kebiasaan normal”.
Mencetak uang dalam keadaan normal biasanya disebut sebagai ekspansi moneter. Yang secara siklikal dilakukan oleh bank sentral dalam mengendalikan perkembangan perekonomian.
Di luar soal jumlah, pembedanya juga adalah penggunaan instrumen penyalur (transmisi) kebijakan moneter, di mana QE menggunakan instrumen kebijakan yang tidak lazim dalam keadaan normal.
Lantas bagaimana melihat kelaikan kebijakan QE di Indonesia?
Secara berkala Bank Indonesia mengeluarkan laporan pelaksanaan tugas moneternya. Dan secara berkala pula, laporan ini disampaikan ke DPR RI khususnya kepada Alat Kelengkapan DPR RI yang membidangi kebijakan moneter.
Yang perlu dicatat, jumlah uang beredar yang dilaporkan oleh BI itu adalah yang dalam pengertian luas/Uang Beredar Luas atau M2 dan Uang Beredar Sempit Atau M1.
M2 adalah akumulasi uang dalam bentuk kartal (tunai), uang giral dan uang kuasi. Uang Kartal atau Mo hanya dapat dan boleh dicetak oleh Bank Sentral, tetapi uang giral dan uang kuasi dicetak oleh perbankan, dan dibeberapa negara juga dicetak oleh lembaga keuangan nonbank (terutama uang kuasi). Itu sebabnya Bank Umum dapat disebut juga sebagai Lembaga Pencetak Uang Giral (LPUG).
Sejak 2013 hingga 2019, pertumbuhan uang beredar (M2) di Indonesia mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Pada Oktober 2013, Uang Beredar Luas (M2) di Indonesia berjumlah Rp 3.576,3 trilliun.
Pada Bulan Oktober 2019, Jumlahnya sdh mencapai Rp 6.026,9 Trilliun. sepanjang kurun itu terdapat penambahan Uang Beredar Luas Rp 2.450,6 Trilliun.
Selama kurun itu pula, antara 2103-2019, pertumbuhan PDB rerata dikisaran 5-5,2%. Pertumbuhan inflasi pun demikian. Tercatat, setelah tahun 2013 dimana inflasi (YoY) tumbuh tinggi 8,36%, memasuki tahun 2015 hingga 2019, inflasi masing-masing 3,35% (2015), 3,02% (2016), 3,61% (2017) 3,13% (2018) 2,72% (2019).
Dapat dikatakan, sepanjang tahun 2013-2019, pertumbuhan jumlah Uang Beredar Luas menunjukkan korelasi positif dengan tugas pokok BI dalam mengendalikan inflasi tanpa menimbulkan kontraksi berlebihan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kesemua itu terjadi dalam situasi yang relatif normal, tanpa suatu krisis berskala besar baik secara global maupun domestik.
Patut pula dicatat, pertambahan jumlah uang beredar sebesar Rp 2.450,6 trilliun itu merupakan gambaran kumulatif dalam kurun waktu tahun 2013 hingga tahun 2019. Yang sudah tentu didalam perkembangan bulanannya mengalami dinamika naik-turun.
Secara teori, suatu kebijakan QE bisa saja dilakukan manakala terjadi deflasi persisten dalam perekonomian. Seperti yang dilakukan oleh Bank Of Japan (BOJ) sepanjang kurun 90-an hingga 2000-an.
BOJ adalah pelopor kebijakan QE di era paska 1970-an. Uniknya, kebijakan yang ditujukan untuk merangsang perekonomian dengan mendorong inflasi ini ternyata tidak terlalu signifikan dalam menciptakan efek inflatoir bagi perekonomian Jepang. Alih-alih perekonomian Jepang terjebak dalam stagflasi (keadaan inflasi yang datar) berkepanjangan.
Juga apabila terjadi kontraksi pada ukuran money velocity. Yaitu manakala daya ungkit (multiplier) uang mengalami pelambatan dalam perekonomian. Kecepatan pertukaran uang dalam perekonomian melambat. Yang bisa saja timbul oleh turunnya penawaran atau turunnya permintaan.
Apabila dalam kuartal kedua tahun ini yang terjadi adalah penurunan bersamaan penawaran dan permintaan (supply and demand), yang saya duga kemungkinan besar akan terjadi karena efek ekonomi yang ditimbulkan oleh pendemi Covid 19 ini, maka kebijakan Quantitative Easing patut dipertimbangkan secara matang oleh BI. Kita tidak boleh mengulangi kekeliruan Rill Bill Doctrine yang menghalangi Bank Sentral AS untuk melakukan ekspansi moneter besar-besaran ditahun 1929 yang berujung pada krisis berkepanjangan yang kemudian kita kenal sebagai The Great Depression.
Pada krisis keuangan global tahun 2008, QE dilakukan untuk mengatasi pembekuan likuiditas (Liquidity Freezing) di dalam sistem keuangan.
Pada waktu itu, pasar keuangan mengalami kegagalan berantai yang bersumber pada macetnya pasar uang antar bank. Kemacetan ini sendiri merupakan dampak dari keruntuhan instrumen pasar hutang beragunan aset (Collaterized Debt) yang merambat keberbagai instrumen keuangan lainnya.
Jadi QE ditahun 2008 pada dasarnya adalah QE yang dilakukan dalam rangka mengatasi kekeringan likuiditas didalam sistem keuangan yang mengancam kestabilan perekonomian secara keseluruhan.
Yang perlu dicatat adalah kebijakan QE ini bertujuan untuk menstimulasi perekonomian. Tidak lebih. Titik krusialnya terletak pada pengamatan yang dalam terhadap keadaan kinerja penawaran dan permintaan.
Jadi bukan karena suatu pertimbangan diluar tujuannya, terlebih-lebih oleh pertimbangan politik. Atau dengan kata lain, suatu pengamatan independen oleh BI berdasarkan analisis berbasis pengetahuan yang cermat (knowledge base policy) yang seyogyanya menjadi landasan kebijakan QE.
Untuk itu, ada empat parameter yang mesti diperhatikan betul dalam hal ini. Pertama, Jaminan korelatif antara pertumbuhan ekonomi yang diharapkan baik dalam masa menahan pemerosotan perekonomian maupun pada masa recovery perekonomian, dengan besaran kebijakan QE yang dilakukan.
Mencetak uang dalam jumlah sangat besar dalam suatu kurun waktu yang terbatas tentu mengandung resiko tidak ringan bagi perekonomian. Apalagi dalam suatu negara dengan ukuran PDB seperti Indonesia.
Ekonomi kita memang sudah masuk dalam kategori “ Trillion Dollar Economy”. Tapi tetap saja, dengan berbagai alasan yang tidak saya sebutkan dalam tulisan ini, kita tidak dapat membandingkannya begitu saja dengan perekonomian Jepang, Inggris atau bahkan AS.