REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Cecep Darmawan, Guru Besar UPI dan Wakil Ketua ICMI Orwil Jawa Barat
Seperti diketahui bahwa masa pandemi covid-19 belum jelas kapan akan berakhir. Entah Mei atau akhir tahun. Tidak bisa dipastikan.
Siswa belajar melalui daring di rumah pun sudah hampir dua bulan berjalan. Para guru dan siswa di perkotaan mungkin tidak terlalu banyak kendala dengan pembelajaran melalui daring. Namun bagi guru dan siswa di pelosok desa kerap mengalami kesulitan fasilitas dan akses internet. Jika tidak dicari alternatif, mereka pasti mengalami kendala belajar secara daring yang berkepanjangan.
Pemerintah belum memiliki pengalaman mengelola pembelajaran siswa secara daring dalam masa yang relatif panjang seperti ini. Alhasil, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pun kerap masih bersifat trial and error alias uji coba dan kerap berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi.
Meski begitu, pemerintah sudah mencoba berbagai strategi dan upaya kebijakan di antaranya model pembelajaran daring yang dilakukan melalui TVRI. Selain itu, pemerintah ingin membantu pembiayaan akses internet siswa dan guru dengan dana khusus untuk itu.
Persoalan di atas merupakan sekelumit kecil dari persolan pendidikan di masa pandemi covid-19. Persoalan bukan hanya itu, ada sejumlah poin krusial yang harus dilakukan pemerintah menyangkut perubahan mind set pendidikan yang signifikan, utamanya menyangkut filosofi pendidikan, sistem pendidkan, regulasi, kultur dan lingkungan pendidikan, daya dukung fasilitas, dan SDM pendidikan. Lalu, bagaimana keberpihakan atau good will pemerintah baik di pusat dan daerah dalam menata ulang kebijkan pendidikan dan implementasinya pascapandemi covid-19.
Adapun beberapa usulan alternatif kebijakan yang dapat pemerintah pertimbangkan untuk segara melakukan akseleratif kebijakan di antaranya: Pertama, pemerintah perlu memperkuat filosofi pendidikan yang berbasis filosofi bangsa (Pancasila) dalam kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menempatkan pendidikan sebagai instrumen sekaligus pilar pembentuk watak dan peradaban bangsa.
Selama ini kebijakan dan implementasi pendidikan kita belum sepenuhnya sesuai dengan dasar filosifi bangsa. Keberhasilan pendidikan kita masih berorentasi pada ukuran-ukuran praksis atau angka-angka kuantitatif. Begitu pun proses pembelajarannya masih dominan pada aspek kognisi atau pengetahuan, dibandingkan dengan penanaman karakter, afeksi, sikap, dan keterampilan.
Kedua, perlu adanya perubahan fundamental dalam menata sistem pendidikan nasional, yakni mengubah pola pikir (mind set) pemerintah dan DPR dalam merancang peraturan perundang-undangan bidang pendidikan melalui adopsi dan adaptasi dari tradisi sistem hukum common law semisal omnibus law bidang pendidikan. Patut dipikirkan ke depan hanya satu undang-undang (UU) yang menjadi rujukan utama atau UU pokok (corner stone) bidang pendidikan yakni Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dengan demikian, UU lain seperti UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Tinggi, dan lainnya yang mengatur bidang pendidikan ditiadakan tetapi substansinya dimasukkan dalam UU Sisdiknas tadi.
Substansi pengaturan lainnya, diatur dalam peraturan perundang-undangan yang merupakan derivasi dari UU Sisdiknas. Untuk mendukung Sisdiknas yang komprensif tersebut, diperlukan kebijakan peta jalan (road map) atau cetak biru (blue print) pendidikan jangka panjang sekitar 50 sampai 100 tahun ke depan.
Sisdiknas pun harus dapat menjamin konsistensi kebijakan pemerintah dalam melakukan kebijakan standarisasi nasional pendidikan (8 standar pendidikan), utamanya pemerintah segera membenahi infrastruktur pendidikan di Indonesia yang merata, berkeadilan, dan sesuai dengan standarisasi yang ideal. Luasnya wilayah NKRI ini tidak menafikan terjadinya disparitas pendidikan yang menyisakan masalah selama ini. Karenanya, pemenuhan standarisasi pendidikan secara masif merupakan sebuah keniscayaan bagi kesadaran baru pemerintah pascapandemi covid-19 ini.
Ketiga, pemerintah secara praksis mesti membuat alternatif kebijakan pendidikan pascapandemi covid-19, yang harus dimaknai sebagai bagian dari konsekuensi disrupsi pendidikan. Karenanya, pemerintah harus cerdas dan cepat mengubah paradigma kebijakan yang bersifat terobosan (breakthrough) dan menghindari pola pikir yang umum (business as usual). Pemikiran Mendikbud Nadiem Makarim sebenarnya sudah sesuai dengan ruh perubahan ke arah terobosan kebijakan pendidikan.