REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses yang harus dilalui untuk mengembangkan sebuah vaksin tidak selalu berjalan lancar. Vaksin untuk HIV dan dengue, misalnya, hingga saat ini belum berhasil ditemukan meski penelitian sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Sebagian ahli menilai nasib yang sama juga bisa terjadi pada vaksin Covid-19.
"Ada beberapa virus yang masih belum kita temukan vaksin untuk melawannya," ungkap profesor di bidang kesehatan global dari Imperial College London Dr David Nabarro dalam sebuah laporan CNN, seperti dilansir Times Now News.
Nabarro mengatakan, asumsi bahwa sebuah vaksin pasti akan muncul adalah sesuatu yang keliru. Andaikan berhasil ditemukan pun, vaksin tersebut belum tentu bisa lulus uji dalam hal efikasi dan keamanan.
"Kita tak bisa membuat asumsi pasti bahwa sebuah vaksin akan muncul atau sekalipun muncul, maka vaksin itu akan lulus semua tes efikasi dan keamanan," kata Nabarro.
Hingga saat ini, ada 102 kandidat vaksin Covid-19 yang masih dalam pengembangan. Delapan kandidat vaksin Covid-19 kini sudah memasuki tahap uji klinis pada manusia.
Bila berjalan lancar, vaksin Covid-19 bisa dikembangkan dan digunakan untuk masyarakat luas dalam waktu 12 hingga 18 bulan. Akan tetapi, belum ada pengembangan vaksin yang berhasil dilakukan dalam kurun waktu tersebut sejauh ini.
Pengembangan vaksin Covid-19 mungkin saja membutuhkan waktu bertahun-tahun. Di sisi lain, kebijakan lockdown bukanlah solusi yang berkelanjutan dari segi ekonomi, dan mungkin segi politik.
"Jadi kita butuh hal lain untuk mengontrolnya," jelas Professor Emeritus Keith Neal dari Departemen Epidemiologi Penyakit Menular di University of Nottingham.
Bila vaksin belum berhasil dikembangkan dan penerapan lockdown tak lagi memungkinkan, negara-negara di dunia tetap harus bangkit dari kelumpuhan. Masyarakat pun perlu mulai kembali ke kehidupan normal mereka secara perlahan.
Dalam kondisi seperti itu, para ahli menyarankan agar pemerintah di tiap negara bisa menerapkan cara hidup dan berinteraksi yang baru. Salah satu contohnya adalah membuat sebuah "kontrak sosial" baru dengan masyarakat di negara masing-masing.
Misalnya, menurut Neal, masyarakat harus bisa melakukan isolasi mandiri dengan penuh tanggung jawab bila merasakan gejala atau berkontak dengan orang-orang yang dicurigai Covid-19. Selain itu, budaya menyepelekan batuk dan gejala demam ringan pun harus dijauhi.
Para ahli juga memprediksi adanya perubahan permanen terhadap pandangan bekerja dari rumah (WFH). Kebijakan WFH mungkin akan menjadi sebuah standar baru bagi pegawai kantoran, setidaknya selama beberapa hari dalam sepekan. Penerapan sistem sif untuk WFH bisa saja dilakukan untuk mencegah gedung kantor tidak dipadati orang.
Nabarro mengatakan, program tes Covid-19 dan penelusuran kontak yang lebih luas perlu dilakukan agar kehidupan bisa berjalan normal meski berdampingan dengan Covid-19. Hal ini juga perlu didukung dengan sistem kesehatan masyarakat lainnya, seperti adanya tes Covid-19 di tempat kerja.
"Itu bisa dilakukan, tapi rumit dan kita belum pernah melakukan itu sebelumnya," jelas Nabarro.