REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter Spesialis Penyakit Dalam dr Robert Sinto, SpPD-KPTI, mengungkapkan, terapi plasma darah atau konvalesen lebih diutamakan kepada pasien positif COVID-19 dengan gejala berat. Secara hipotesis, akan jauh lebih baik saat diberikan di awal.
"Karena pada waktu awal itu kita bisa memberikannya untuk clearence virus lebih baik," kata anggota Tim Peneliti Plasma Konvalesen Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh Indonesian Clinical Training and Education Center (ICTEC) dan Bagian Penelitian RSCM-FKUI di Jakarta, Selasa (5/5).
Tapi, lanjut Robert, beberapa uji klinis yang dilakukan sejauh ini dilakukan kepada pasien COVID-19 gejala berat. Alasannya, bila diberikan kepada semua pasien positif dalam semua tingkatan gejala, maka jumlah plasma tidak akan mencukupi.
Itu sebabnya terapi plasma darah difokuskan untuk membantu pasien dengan gejala berat untuk membantu pengobatan mereka. Namun, kata dia, secara teori terapi plasma darah itu bisa dilakukan dalam semua fase dari penyakit yang menyerang sistem pernapasan itu.
Menurut dokter spesialis hematologi dan onkologi, Dr dr Lugyanti Sukrisman, SpPD-KHOM, pada prinsipnya plasma konvalasen adalah pasif antibodi maka bisa diberikan ketika pasien terpapar. "Kalau sebagai terapi harus diberikan kepada pasien yang sudah sakit tapi dengan kriteria terukur," kata dia.
Pemilihan pemberian terapi kepada pasien dengan gejala berat karena kebanyakan proses pengobatannya tidak mencukupi dengan terapi standar dan diperlukan tambahan. Jadi, tegas Lugyanti, dalam uji klinis di berbagai negara biasanya terapi plasma darah diberikan bersama dengan terapi standar lain.