REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sains Islam tidak bisa berdiri sendiri. Perkembangan sains Islam terjadi adalah saat dunia Islam mulai menerjemahkan, menyalin, dan mengembangkan pengetahuan yang datang dari dunia Barat.
"Perkembangan (sains) Islam mencapai puncaknya pada abad ke-13, yakni pada Dinasti Abbasiyah yang banyak menerjemahkan buku dari berbagai bahasa," kata matematikawan Indonesia, Prof Hadi Susanto, dalam seminar nasional via aplikasi digital (webinar) bertajuk 'Sains Islam' yang merupakan kerja sama antara Majalah Mata Air dengan Sekolah Mitra Eduversal, Sabtu (9/5).
Menurut Prof Hadi, usaha untuk melakukan tukar buku menjadi salah satu syarat bagi gencatan senjata antara dua negara pada masa itu. "Setidaknya ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan berkembang. Pertama karena alasan mistis dan yang kedua adalah alasan spiritualis," kata mantan dosen Universitas Essex, Britania Raya, itu.
Alasan mistis adalah semacam kenikmatan spiritual (dzauq) seseorang yang merasa lebih dekat dengan Tuhannya ketika mempelajari ilmu pengetahuan. "Dan inilah yang membedakan antara sains Islam dan sains Barat, bahwa sains Barat hanya berhenti di konsep mengapa dan bagaimana," katanya.
Sementara, menurut Prof Hadi, sains Islam akan mengarahkan seseorang pada kontemplasi akan kebesaran Tuhannya.
Alasan kedua adalah sebab spiritualis. "Misalnya, Astronomi berkembang di dunia Islam dan dianggap penting karena telah menjadi perantara penentuan awal Ramadhan dan Syawal. Geometri misalnya, menjadi pengalihan kaum muslimin dalam mengejawantahkan sisi seni dan keindahan pada Islam dalam bentuk mozaik dan hiasan di dalam masjid, dan tidak dengan menggambar manusia atau pun mahluk hidup lainnya," ujarnya.
Hal lain yang dibahas adalah tentang mengapa sains pada akhirnya maju di Barat dan terasa mundur di Timur, tentang sejarah angka nol di Barat, dan beberapa hal yang menjadi pertentangan tentang konsep dan definisi sains Islam itu sendiri. Ia mengungkapkan, alih-alih meributkan tentang definisi sains Islam, yang terpenting adalah terus berjalan dan berkarya agar ada bukti nyata sumbangsih ilmuwan Islam pada bidang sains di dunia.
Sesi webinar itu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dari para peserta yang cukup antusias. Salah satunya adalah bagaimana meningkatkan kecintaan anak pada sains. Menurut lulusan terbaik ITB tahun 2000 tersebut, yang pertama dilakukan adalah menjadi orang tua yang baik dengan mencari guru yang baik, dengan menyampaikan rasa cinta pada pelajaran itu, dan bukan teori.
"Sehingga semangat yang disampaikan oleh guru dalam penjabaran materinya akan tersampaikan dan sehingga ilmu pengetahuan tidak akan hanya dilihat dari segi hapalan semata namun mencintai prosesnya," tuturnya.
Ia menyampaikan sebuah kalimat di akhir pemaparan dengan menyatakan bahwa inti matematika bukan terletak pada angka, namun logika. "Maka kita belajar matematika adalah agar bisa berpikir dengan logika yang baik dan mengambil kesimpulan yang logis," katanya
Pemred Majalah Mata Air, Astri Katrini Alafta, mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Parents Club Sekolah Mitra Eduversal atas terselenggaranya program ini serta kepada para peserta yang telah berpartisipasi, dan khususnya Prof Hadi yang bertindak sebagai pembicara. Ia menekankan pentingnya peran orang tua dalam meningkatkan literasi anak.