Ahad 10 May 2020 14:09 WIB

Covid-19 dan Larangan ke Masjid di Sumatra Barat

Ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, larangan ke masjid amatlah logis.

Eka Putra Wirman, Rektor UIN Imam Bonjol Padang
Foto: Tangkapan layar
Eka Putra Wirman, Rektor UIN Imam Bonjol Padang

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Eka Putra Wirman, Rektor UIN Imam Bonjol Padang

Kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatra Barat melarang shalat berjamaah dan meniadakan segala bentuk kegiatan keagamaan yang menghadirkan kerumunan di masjid untuk membatasi penyebaran pandemi korona sudah pasti mengecewakan hati sebagian umat Islam. Kejanggalan muncul secara otomatis.

Masjid yang selama ini menjadi salah satu episentrum interaksi dan pergerakan umat tiba-tiba di-lockdown dan kehilangan fungsi pentingnya tersebut. Masjid dipaksa untuk ditinggalkan, padahal ia adalah tempat hati umat terpaut.

Ditinjau dari sudut pandang hukum Islam, kebijakan tersebut amatlah logis. Ada hidup ‘nafs’ yang mesti dijaga. Hingga tanggal 8 April 2020, data pada laman Website Corona Sumbar (corona.sumbarprov.go.id) menunjukkan 26 orang dikonfirmasi positif terjangkit korona, 95 orang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), dan 4.066 orang berstatus orang dalam pemantauan (ODP). Jumlah itu menjadi bagian dari konfirmasi positif korona di Indonesia yang telah menyentuh angka 2.956 kasus.

Virus korona menyasar setiap kerumunan dan pertemuan orang dalam jumlah banyak. Rumah ibadah tidak dapat dikecualikan. Dalam sebuah konferensi pers dikonfirmasi mayoritas dari 226 orang yang terindikasi positif COVID-19 setelah menjalani rapid test merupakan jamaah sebuah gereja di Lembang. Terdapat pula 144 jamaah tabligh sebuah masjid di Kebon Jeruk Jakarta Barat yang diisolasi setelah 3 di antara mereka terbukti positif covid-19.

Kondisi darurat ini memberikan legitimasi hukum yang kuat terhadap pembatasan kegiatan di rumah ibadah; keselamatan umat jauh lebih utama. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi bahkan mengambil kebijakan yang lebih ekstrim; menutup akses masjid al-haram, melarang kegiatan umrah hingga waktu yang belum ditentukan, dan memberitahukan kemungkinan besar peniadaan ibadah haji tahun 2020.

Senada dengan itu, Menteri Agama RI melalui Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 telah mengamanatkan pelaksanaan shalat tarawih dan shalat idul fitri di rumah. Kendati berterima secara hukum, namun kebijakan tersebut menyisakan satu ruang kosong jika ditilik dari perspektif sosiologi agama. Tipikal masyarakat Sumbar yang secara sosiologis memiliki spirit keberislaman yang kental luput dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

Heningnya masjid yang selalu ramai dengan dakwah secara tiba-tiba memberikan efek kejut luar biasa bagi masyarakat, hingga tak heran banyak protes yang mengemuka. Kegalauan sosiologis ini menjadi ruang antara dan problem yang mesti cepat diisi dan dicarikan solusinya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement