REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip
BUMN kini menghadapi lingkungan bisnis yang berbeda. Lingkungan bisnis ini tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, tetapi juga oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah terkait pengelolaan BUMN saat ini sedikit banyak memiliki perbedaan dengan sebelumnya.
Meski berbeda, tujuannya masih sama, yaitu memaksimalkan kontribusi BUMN sebagai agent of development. Tentunya, agar mampu memberikan kontribusi maksimal, BUMN harus memiliki bisnis bagus serta didukung dengan kondisi keuangan yang sehat.
Perbedaan pendekatan dalam kebijakan pengelolaan BUMN ini terjadi karena kebijakan ekonomi secara keseluruhan juga berbeda. Konsekuensinya, pengelolaan BUMN pun ikut menyesuaikan.
Saya mengamati, selama lima tahun terakhir, BUMN lebih banyak diperankan sebagai instrumen kunci untuk menyukseskan berbagai proyek prioritas pemerintah, seperti infrastruktur, energi, dan pangan. Di sisi lain, kapasitas BUMN saat itu sesungguhnya terbatas. Karena itu, kebijakan pengelolaan BUMN pun diarahkan untuk meningkatkan kapasitas agar BUMN mampu menjalankan misi tersebut.
Salah satu strateginya adalah menjadikan ukuran (size) BUMN lebih besar. Tujuannya untuk meningkatkan leverage BUMN. Leverage adalah suatu teknik keuangan yang dipergunakan untuk meningkatkan kemampuan investasi perusahaan dengan melibatkan dana utang (external funds) yang lebih besar dibanding penambahan modal sendiri. Harapannya, investasi yang dibiayai dari utang ini akan menghasilkan laba bersih yang melebihi biaya pinjaman. Dengan demikian, BUMN mampu membayar cicilan dan bunga utang serta masih memperoleh tambahan cash flow.
Melalui teknik leverageini, setidaknya terdapat dua sasaran yang dapat dicapai. Pertama, misi pembangunan secara ekonomi tercapai. Banyak proyek strategis pemerintah yang dapat dibangun meski dengan sumber dana internal (internal funds) BUMN yang terbatas.
Kedua, kapasitas bisnis BUMN meningkat dan sumber pendapatan (revenue) dalam jangka panjang juga akan meningkat. Tentu dengan catatan, proyek yang dibiayai tersebut tidak mengalami kegagalan (default).
Dalam tataran kebijakan makro, peningkatan leverage, antara lain, dilakukan dengan menggabungkan BUMN-BUMN ke dalam holding. Pembentukan holding ini telah dan masih dilakukan Kementerian BUMN. Tujuannya memperbesar size aset BUMN. Size is matter. Ukuran itu menentukan.
Dengan size yang besar, leverage meningkat sehingga kemampuan memperoleh pendanaan dari utang meningkat. Selain memperbesar size aset, pembentukan holdingjuga untuk memperkuat sinergi BUMN.
Sementara, dalam tataran mikro, setidaknya ada dua cara yang dapat dilakukan. Pertama, dengan menambah modal perusahaan. Kedua, melakukan penilaian kembali (revaluasi) aset. Karena aset yang tercatat di buku perusahaan belum mencerminkan nilai yang wajar.
Pada 2015, PLN melakukan kombinasi kedua teknik ini, yaitu merevaluasi aset tetapnya dan menerima penambahan modal negara (PMN) nontunai senilai Rp 4,5 triliun. Hasilnya, nilai aset tetap PLN meningkat dari Rp 440 triliun pada 2014 menjadi Rp 1.188 triliun pada 2015. Kini, dengan total aset Rp 1.492 triliun (2018) telah menempatkan PLN sebagai BUMN dengan aset terbesar.
Meningkatnya aset PLN kemudian menaikkan leverage PLN. Kemampuan PLN meraih utang meningkat, baik dari perbankan maupun surat utang.
Pinjaman jangka panjang (long term debt) PLN meningkat dari Rp 266,8 triliun (2014)menjadi Rp 407,2 triliun (2018). PLN lalu menggunakan pinjaman ini untuk membangun infrastruktur kelistrikan, baik pembangkitan, transmisi, maupun jaringan.
Teknik leverage ini juga diterapkan pada sejumlah BUMN karya, yang juga mengemban misi untuk membangun infrastruktur. Tekniknya dengan menambah PMN meski nilainya relatif minimal. Melalui teknik leverage ini, kemampuan utang sejumlah BUMN karya meningkat. Saya menghitung, tujuh BUMN karya yang sahamnya tercatat di bursa saham mengalami peningkatan utang sebesar 210,5 persen selama 2015-2018.