Selasa 12 May 2020 14:23 WIB

Dosen UNS Ubah Limbah Popok Jadi Peredam Suara Ruangan

Popok sekali pakai sulit diurai terutama gel di dalamnya.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Bilal Ramadhan
Popok bayi
Foto: Republika/Niken Paramita Wulandri
Popok bayi

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO – Dosen Ilmu Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prabang Setyono melakukan sebuah penelitian selama delapan bulan sejak 2018 untuk mengubah limbah popok sekali pakai (pospak) menjadi teknologi tepat guna dan bernilai ekonomi lebih tinggi. Hasilnya, Prabang menciptakan sebuah prototipe panel akustik atau peredam suara dalam ruang berbahan utama popok sekali pakai.

Prabang yang juga menjabat Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Lingkungan UNS tersebut menuturkan latar belakang penelitian dilakukan lantaran resah dengan keberadaan limbah popok sekali pakai yang sulit terurai dan dalam jumlah besar di Indonesia. Selain itu, dia menyoroti pola kebiasaan impor peredam suara atau panel akustik berbahan glasswool di Indonesia yang memiliki harga cukup mahal.

Padahal, bidang industri membutuhkan peredam suara dengan harga terjangkau, efektif, dan sebisa mungkin berbahan dasar lokal atau tidak perlu impor. Sebab, lambat laun impor akan menimbulkan ketergantungan.

"Kemudian saya berpikir sumber daya apa yang melimpah di Indonesia, tetapi belum dimanfaatkan dengan maksimal. Sebagai orang lingkungan, saya juga berpikir dari aspek lingkungan dan bagaimana mengurangi waste atau limbah. Ketemulah popok sekali pakai ini," jelasnya seperti tertulis dalam siaran pers, Selasa (12/5).

Prabang memaparkan, sejak bayi lahir hingga mampu buang air di toilet secara mandiri pada usia 3 tahun, setidaknya seorang bayi sudah menghabiskan sekitar 4.000 popok sekali pakai. Berdasarkan data dari katadata.co.id, pada 2018 jumlah bayi usia 0—3 bulan di Indonesia mencapai angka 23.729.600 bayi. Jika 50 persen dari jumlah tersebut menggunakan popok sekali pakai, maka jumlah limbah pospak di Indonesia sangatlah besar.

"Pembuangan popok sekali pakai itu masih sering sembarangan, misal di sungai. Semakin terendam di air, Pospak semakin sulit diurai terutama gel di dalamnya. Bisa sepuluh tahun terawetkan. Itu juga dapat mengganggu kesehatan air sungai," ujarnya.

Dia menyebutkan, pospak mengandung senyawa kimia Super Absorbent Polymer (SAP) sebanyak 42 persen yang akan berubah bentuk menjadi gel saat terkena air. Apabila terurai dalam air, zat kimia ini dapat berbahaya bagi lingkungan. Bahkan, meskipun dihilangkan dengan cara dibakar, gel di dalam Pospak tidak dapat terbakar dengan baik.

Selain karena jumlah limbahnya yang besar, penelitian berbahan pospak dipilih karena memenuhi kriteria bahan baku peredam suara atau panel akustik. Pertama, Pospak berbentuk serabut-serabut. Kemudian memiliki celah pada bubuk-bubuk di dalamnya yang bertumpuk-tumpuk.

"Gelombang suara akan lebih mudah diredam atau diresapkan apabila celahnya bertumpuk-tumpuk. Ini lebih efektif daripada yang datar (flat)," terangnya.

Prabang menjelaskan, dalam proses pembuatan peredam suara, popok sekali pakai harus terlebih dahulu dilakukan disinfektan dengan cairan klorin kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari supaya mikroba infeksinya hilang. Prabang juga memanfaatkan kertas daur ulang yang biasa digunakan untuk tempat menaruh telur sebagai luaran atau casing-nya agar memiliki kesan estetika.

"Bentuknya itu kan berlekuk-lekuk, ini sangat bagus untuk meredam suara. Secara estetikanya juga bagus. Tapi karena ini masih prototipe, maka belum terlalu rapi pengemasannya," kata Prabang.

Kemudian, Prabang menggandeng Hary Setianto dari Prodi Teknik Industri Fakultas Tenik UNS untuk menyusun strategi pemasaran yang sesuai dengan kebutuhan industri hingga sampai ke hilir atau masyarakat. Dia juga berencana melakukan penelitian payung bersama mahasiswa untuk terus mengembangkan produk ini.

"Mahasiswa nanti dapat meneliti dimensi atau bentuknya agar tidak melulu berbentuk persegi. Atau bisa juga casing selain kertas daur ulang," ucapnya.

Penelitian dan karya ini juga dipandang Prabang sebagai sebuah circular economy atau lingkaran ekonomi. Yang berarti mendaur ulang limbah tanpa nilai menjadi teknologi tepat guna dan ramah lingkungan yang dapat bernilai jual tinggi.

Harapannya, produk ini dapat menggantikan peredam suara sintetis dari gipsum dan peredam suara glasswool yang selama ini beredar di pasaran dengan harga yang lebih terjangkau. Selain itu, pemulung yang juga berperan dalam pengumpulan bahan, dapat meningkat penghasilannya.

"Saat ini kami masih dalam tahap sosialisasi prototipe dan pengajuan proposal pendanaan penelitian lebih lanjut. Saya sangat berharap, segera difabrikasi dan dapat sampai ke hilir sehingga bermanfaat bagi masyarakat dalam skala besar. Setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dulu," tutup Prabang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement