REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 menjadi undang-undang dalam rapat paripurna ke-15 penutupan Masa Sidang III Tahun 2019—2020. Hanya Fraksi PKS yang menolak Perppu Covid-19 disahkan menjadi Undang-Undang.
Sebelum disahkan, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah memaparkan pandangan dari masing-masing fraksi terhadap perppu yang lebih dikenal dengan Perppu Covid-19. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menolak Perppu Covid-19 disahkan menjadi Undang-Undang.
"Tadi sudah disampaikan ada delapan fraksi menyetujui dan satu menolak. Apakah pandangan mini fraksi dapat menjadi keputusan? Setuju, ya?" tanya Ketua DPR Puan Maharani yang memimpin sidang paripurna kepada seluruh peserta rapat yang berlangsung di kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa (12/5).
"Setuju!" jawab peserta yang hadir di ruang sidang.
Rapat paripurna itu dihadiri 296 anggota dewan dengan perincian 255 mengikuti secara virtual dan 41 orang hadir secara fisik. Dengan demikian, kuota forum (kuorum) telah tercapai. "Baik setuju untuk menjadi undang-undang," kata Puan sambil mengetuk palu tanda disahkannya Perppu Covid-19 menjadi UU.
Dengan disahkannya Perppu Covid-19 dalam rapat paripurna menjadi UU, maka dapat dijadikan panduan bagi semua pihak di pemerintahan tentang bagaimana menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas keuangan. Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 diterbitkan dengan pertimbangan kondisi yang genting dan memaksa.
Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa, mengutarakan, pemerintah perlu segera mengambil tindakan penting dan butuh dana besar yang mencapai Rp 405,1 triliun sebagaimana disampaikan Presiden. "Anggaran ini sebelumnya tidak ada di dalam APBN 2020. Namun, pandemi Covid-19 memaksa pemerintah untuk menyediakannya dengan cepat. Oleh karena itu, perppu ini merupakan payung hukum bagi penyediaan anggaran tersebut," kata Yasonna Laoly.
Menurutnya, justru akan menjadi keliru apabila anggaran tersebut langsung dikeluarkan tanpa adanya dasar hukum. "Oleh karena itulah, perppu ini harus ada, untuk memastikan pengambil keputusan tidak khawatir dan tetap dipagari agar tidak bisa korupsi. Semua ini dilakukan dengan pertimbangan kepentingan rakyat bahwa keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," ujar Yasonna.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengemukakan bahwa pemerintah memutuskan total tambahan belanja dan pembiayaan APBD untuk penanganan Covid-19 sebesar Rp405,1 triliun. Total anggaran tersebut dialokasikan sebesar Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat, serta Rp150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional.
Namun, Pasal 27 pada Perppu Nomor 1 Tahun 2020 sempat menjadi polemik karena dianggap memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada penyelenggara perppu.
Pasal 27 Ayat (2) berbunyi, "Anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan."
Selanjutnya, Pasal 27 Ayat (3) berbunyi, "Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha."
Yasonna menyebutkan, ada atau tidaknya Pasal 27 pada perppu tersebut, tidak akan membuat seseorang menjadi kebal hukum bila melakukan korupsi. Ia menjelaskan, klausul tidak dapat dituntut seperti di dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 itu bukan hal baru dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
"Klausul ini juga pernah diatur dalam UU Pengampunan Pajak, UU Bank Indonesia, UU Ombudsman, UU Advokat, dan UU MD3. Bahkan, beberapa pasal di KUHP juga mengatur tentang sejumlah perbuatan yang tidak dipidana," katanya pula.