REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anif Punto Utomo*
Seorang ibu berumur 40-an berjalan agak cepat menuju pasar. Tangan kanannya menenteng tas plastik yang terlihat agak berat sehingga badannya perlu miring ke kiri untuk mengimbanginya. Sampai di pasar ia langsung menuju kios yang menjual sembako, dan kemudian mengambil beras ukuran 3 kg dan seekor ayam.
Berapa yang harus dibayar? Beras 7,5 juta dan ayam 14,5 juta! Itulah yang terjadi di Venezuela dua tahun lalu. Mata uang bolivar nyaris tak ada nilainya. Satu dolar Amerika setara 6,7 juta bolivar. Jangan heran jika semua rakyat Venezuela menjadi jutawan. Jutawan yang miskin karena untuk hidup pun susah.
Situasi lebih parah terjadi di Zimbabwe sekitar satu dekade lalu. Berapa 1 dolar Amerika? Setara dengan 35 kuardilium (35.000.000.000.000.000 atau 35.000 triliun). Begitu rendahnya dolar Zimbabwe sampai ada satu lembar uang yang nilainya 100 triliun dolar Zimbabwe! Untuk membeli tiga butir telor dibutuhkan 100 miliar dolar Zimbabwe.
Jika Anda penasaran dan ingin memiliki uang pecahan 100 triliun dolar Zimbabwe, bisa beli di Tokopedia atau Bukalapak dengan harga Rp 1,2 juta sampai Rp 1,6 juta, tergantung si penjual. Tentu itu harga koleksi, bukan harga berdasarkan kesetaraan mata uang.
Mengapa nilai mata uang dua negeri itu jatuh? Karena Pemerintah mencetak uang dalam jumlah besar tanpa memenuhi kaidah ekonomi makro. Ketika Pemerintahan mereka tidak memiliki uang untuk membiayai operasional negara, maka jalan pintas dilakukan: mencetak uang sebanyak-banyaknya. Apa yang terjadi berikutnya adalah inflasi sampai ribuan persen atau hiperinflasi, dan akhirnya mata uang pun menjadi tak bernilai.
Indonesia pernah mengalami hal serupa meski tak separah kedua negara. Pada 1962-1965 Pemerintah jor-joran mencetak uang untuk membayar utang luar negeri dan membangun proyek mercusuar --salah satunya Monas. Akibatnya uang beredar melimpah sehingga inflasi tembus 600 persen. Rupiah menjadi tidak berharga, sampai akhirnya Pemerintah melakukan sanering.
Kita perlu belajar dari pengalaman. Bisa pengalaman diri sendiri maupun orang lain. Dalam kasus pencetakan uang secara tak terkendali kita belajar dari Venezuela dan Zimbabwe. Bahkan juga belajar dari pengalaman negeri kita sendiri. Menjadi aneh ketika kemudian Banggar (Badan Anggaran) DPR ngotot agar Bank Indonesia mencetak uang Rp 600 triliun untuk mengatasi virus Corona.
Keledai tidak akan jatuh di lobang yang sama. Sebuah ungkapan yang sangat filosofis. Jika kedelai saja tidak akan terjerembab di lobang yang sama, mengapa justru anggota DPR mengajak negeri ini terperosok di lobang yang sama?
Corona memang telah membuat seluruh negara kerepotan mengelola ekonominya. Stimulus ratusan triliun bahkan ribuan triliun disiapkan untuk mengatasi dampak kesehatan dan ekonomi. Masalahnya dari mana mendapatkan dana untuk mensuplai stimulus? Di semua negara pilihannya adalah utang. Majalah the Economist pun edisi akhir April 2020 menurunkan tulisan ‘After the Disease, the Debt’ yang sekaligus dijadikan cover.
Apa pertimbangan DPR mengusulkan cetak uang? Ini alasannya: Tidak mudah mencari pinjaman di situasi yang sama-sama sulit meskipun dengan obligasi berbunga tinggi. Lagi pula utang pemerintah sudah begitu besar.
Tapi ada catatan khusus dari DPR yakni kebijakan cetak uang ini jangan sampai menjadikan mata uang rupiah kehilangan nilai jual dan memperhitungkan dampak inflasi.
Nah, justru dicatatan khusus itu yang perlu digaris bawahi. Mereka sadar bahwa mencetak uang baru ratusan triliun akan menurunkan nilai mata uang dan mendorong inflasi. Tapi mereka tidak mau tahu bagaimana mengatasinya. Beruntung masih dominan ekonom yang berpikiran logis sehingga nyaris tak ada satu pun yang mendukung usulan DPR.
Janganlah nasib ekonomi bangsa dipertaruhkan hanya untuk memenuhi ambisi wakil rakyat yang tidak selalu mewakili aspirasi rakyat. Utang memang menyakitkan, tapi pilihan the best among the worst. Kita tak ingin masyarat Indonesia menjadi jutawan tapi jutawan miskin, memiliki uang jutaan rupiah namun hanya bisa untuk membeli tiga telor ayam.