REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Ramson Siagian, Anggota DPR RI Komisi XI
Awal Januari 2020 masyarakat dan para pemimpin dunia tertegun melihat muncul dan berkembangnya virus corona atau covid-19 di Wuhan, China. Ada yang memberikan simpati, ada yang sekadar tertegun, dan tidak sedikit pemimpin yang kurang waspada sehingga kurang mempersiapkan strategi pencegahan yang efektif untuk negara masing masing.
Sesudah covid-19 menyebar di wilayah wilayah tertentu di masing masing negara barulah para pemimpin tersentak, dengan reaksi yang berbeda beda termasuk di Indonesia.
Respons awal para pemimpin dan masyarakat di berbagai negara di dunia atas merebaknya covid-19 tahap demi tahap berupaya melakukan berbagai tindakan pencegahan dari sisi displin pemahaman kesehatan (yang mungkin tidak sedikit yang terlambat). Ini antara lain bertahap melakukan lockdown di wilayah wilayah tertentu di negara masing masing.
Sejak awal Maret 2020, Pemerintahan Jokowi memberikan respons, dan proses awalnya tidak sedikit yang membingungkan masyarakat. Upaya Pemerintah untuk mencegah penyebaran covid-19 secara bertahap antara lain dengan melakukan lockdown di wilayah wilayah tertentu di Indonesia yang disebut PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Bersamaan dengan berprosesnya respons dari sisi disiplin pemahaman kesehatan, selanjutnya juga berkembang respons dari sisi pemahaman ekonomi. Karena perkembangan realitas dampak ekonomi covid-19 sangat cepat, Pemerintahan Jokowi memberikan berbagai respons.
Menteri Keuangan, OJK, BI, Kadin, juga para anggota DPR ikut memberikan respons terbuka. Ada yang memberikan respons kepanikan dengan berbagai kekhawatiran dampak ekonomi covid-19 yang berpotensi terjadinya resesi.
Malah ada yang mengemukakan perlunya melakukan Quantitative Easing dengan mencetak uang sekitar ribuan triliunan rupiah karena diasumsikan berpotensi terjadi resesi ekonomi dan menyebut nyebut sebagai contoh resesi ekonomi di USA (Amerika Serikat ) pada sekitar 1930-an.
Memang sekitar pada 1930-an terjadi great depression di Amerika Serikat dan bertahap dapat diatasi pada zaman Pemerintahan Presiden Franklin Roosevelt yang didukung oleh teori teori pemikir ekonomi John Maynard Keynes.
Selesainya reses DPR RI pada pertengahan Maret 2020, Komisi XI DPR RI secara resmi memberikan respons dengan segera melakukan rapat rapat virtual dengan Menteri Keuangan, Gubernur BI, OJK, LPS juga BPS, dan juga dengan perbankan, serta Kadin, dan lain lain yang terkait.
Di rapat rapat virtual dengan Komisi XI, Menteri Keuangan antara lain menjelaskan untuk mencegah agar krisis ekonomi dan keuangan tidak terlalu mendalam sebagai akibat dampak covid-19, Pemerintah memberikan stimulus ke-3 (istilah Menkeu) dengan anggaran sebesar sekitar Rp 405, 1 Triliun.
Perincian anggaran stimulus tersebut, untuk kesehatan Rp 75 triliun, dukungan industri Rp 70,1 triliun, dukungan dunia usaha Rp 150 triliun, dan untuk social safety net Rp 110 triliun (terdiri dari jaring pengaman sosial Rp 65 triliun, cadangan pemenuhan pokok dan operasi pasar/logistik Rp 25 triliun dan penyesuaian anggaran pendidikan untuk penanganan covid Rp 20 trilun ).
Total stimulus sekitar Rp 405,1 triliun atau sekitar 2,5% dari PDB. Sekaligus Menkeu juga menjelaskan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di thn 2020 dengan skenario berat sekitar 2,3% dan skenario sangat berat sekitar -0,4% atau minus 0,4%.
Usulan Cetak Uang
Dalam proses rapat rapat virtual tersebut, memang timbul berbagai kekhwatiran akan kelanjutan ekonomi nasional. Ada anggota Komisi XI DPR RI dengan berbagai argumentasi yang mendesak agar BI melakukan Quantitative Easing (QE) dengan mencetak uang untuk masuk membeli Surat Utang Negara dipasar primer.
Di publik juga ada anggota Komisi XI DPR RI dengan mengemukakan perlu segera mencetak uang, ada yang menyebut Rp 600 Triliun. Ada yang mengikuti opini publik yang disampaikan salah satu pimpinan Kadin agar BI melakukan Quantitative Easing dengan mencetak uang sekitar Rp 1.600 Triliun.
Tapi perlu dijelaskan bahwa dalam perdebatan perdebatan di rapat rapat virtual antara Komisi XI DPR RI dengan Menkeu, Gubernur BI dan OJK tidak semua Anggota Komisi XI DPR RI mendukung upaya mencetak uang ataupun menyebut Quantitative Easing dengan mencetak uang ratusan bahkan ribuan triliunan untuk keperluan stimulus dampak ekonomi covid-19.
Saya termasuk yang tegas menolak usulan mencetak uang tersebut, dan memang berkembang argumentasi oleh anggota Komisi XI tertentu seakan akan kalau “Quantitative Easing” harus melakukan mencetak uang besar besaran.
Inti dari proses perdebatan di rapat rapat virtual Komisi XI DPR RI sebagai proses demokrasi sampai hari ini belum pernah ada rekomendasi resmi kepada Bank Indonesia agar melakukan Quantitative Easing dengan mencetak uang. Biarpun tentu ada anggota Komisi XI DPR membentuk opini publik mendesak BI melakukan cetak uang. Ini seakan-akan DPR RI Komisi XI mengusulkan BI melakukan cetak uang.
Jelas, hingga hari ini belum pernah ada kesimpulan rapat rapat virtual Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan, Gubernur BI dan OJK yang mengusulkan cetak uang kepada Gubernur BI. Proses ini perlu diperjelas karena belakangan ini Dr Rizal Ramli dan beberapa ekonom serta pengamat menyampaikan persepsi di publik seakan akan DPR RI Komisi XI membuat kesimpulan mengusulkan cetak uang kepada Gubernur Bank Indonesia.
Dan itulah antara lain sebabnya saya menuliskan artikel ini biarpun sudah lama saya mengurangi bicara di publik terkecuali pada rapat rapat di DPR RI.
Realitas
Sebenarnya sebelum munculnya covid-19 untuk merespons perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik, dan antara lain atas desakan anggota anggota Komisi XI DPR RI pada rapat rapat dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan OJK pada bulan November dan Desember 2019, telah berjalan kombinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Bank Indonesia melakukan jalur transmisi penurunan acuan suku bunga secara bertahap dan cukup siknifikan yang pelaksanaan di perbankan didukung oleh OJK. Dari sisi kebijakan fiskal usulan agar Menteri Keuangan bertahap menurunkan tarif pajak penghasilan dan kemudahan perpajakan.
Kombinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tersebut sangat diperlukan untuk merespons potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan domestik pada akhir 2019. Ini antara lain untuk mendorong peningkatan konsumsi masyarakat ataupun domestic consumption di waktu berikutnya dan di satu sisi mendorong penguatan dari sisi supply.
Tujuannya, agar produk produk dalam negeri bisa harganya lebih kompetitif dengan menurunnya cost of money. Sehingga ini bisa meningkatkan kemampuan bersaing di pasar domestik dan pasar global (export).
Karena terlalu mengandalkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan atau Bansos untuk menjaga pertumbuhan konsumsi domestik akan berdampak peningkatan belanja negara yang terlalu besar dan berpotensi melebarkan defisit fiskal. Sehingga untuk akhir 2019 kombinasi kebijakan moneter dan kebijakan fiskal tersebut sebagai upaya yang tepat dan akan efektif untuk menahan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi di tahun berikutnya agar tetap bisa menjaga pertumbuhan ekonomi sekitar diatas 5%.
Kembali merespons dampak ekonomi covid-19, sejak awal Maret 2020 anatomi perekonomian nasional bergeser cepat, dengan bertambahnya belanja negara antara lain peningkatan stimulus dampak covid-19 dan di satu sisi potensi berkurangnya penerimaan negara secara signifikan.
Otomatis defisit fiskal semakin melebar. Menteri Keuangan menyampaikan bahwa defisit fiskal, defisit APBN 2020 akan mencapai Rp 852, 9 triliun atau sekitar 5% dari PDB.
Ini jelas akan memerlukan pembiayaan yang besar dan otomatis akan menambah jumlah utang yang besar pula. Menteri Keuangan menyampaikan outlook pembiayaan utang pada 2020 yang antara lain untuk peningkatan belanja stimulus dampak covid-19 serta warisan utang tahun tahun sebelumnya, dengan struktur yang disampaikan,
Pembiayaan Defisit Rp 852,9 T
Pembiayaan Investasi dll (net) Rp 153,5 T
Pembiayaan Utang Neto (1) + (2)
Rp1.006,4 T
Utang Jatuh tempo Rp 433,4 T
Pembiayaan Utang Bruto (3) + (4) Rp 1.439,8 T
Sumber Pembiayaan Utang
Rp 1.439,8 T
1. Penerbitan Pinjaman Rp 150,5 T
2. Penerbitan SBN Rp 1.289,3 T
Dikurangi,
-Realisasi s.d. 31 Maret 2020 Rp 221,4 T
-Program Pemulihan Ekonomi Nasional Rp 150,0 T
-Penurunan GWM Pebankan Rp 105,0 T
Total SBN Financing Rp 812,9 T
+spn /S Jatuh Tempo 2020 Rp 43,9 T
Penerbitan SBN Q2 s.d Q4 Rp 856,8 T
Dari sisi kebijakan moneter dampak ekonomi covid-19 juga memerlukan penyesuaian yang cepat. Pada sekitar akhir Maret dan awal April 2020 mungkin antara lain dengan merebaknya isu isu cetak uang respons market cukup memperlemah posisi rupiah dan sempat mendekati Rp 17.000,- per USD.
Tapi dengan berhasilnya pemerintah memperoleh utang dengan menerbitkan obligasi Global Bond sebesar USD 4,3 miliar, dan pada saat bersamaan Bank Indonesia mengupayakan Quantitative Easing dalam bentuk operasi moneter ( bukan mencetak uang) untuk meningkatkan likuiditas dengan melakukan Pembelian SBN pemerintah dari pasar sekunder Rp 166, 2 triliun, Term Repo Perbankan Rp 137, 1 triliun, Penurunan GWM Rp 53 triliun dan Rp 102 triliun, serta tidak mewajibkan tambahan Giro bagi yang tidak memenuhi PLM Rp 15,8 triliun.
Total sebesar Rp 503,8 triliun, serta posisi cadangan devisa yang membaik, dan upaya kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia berhasil memperoleh Repo line dari The Federal Reserve sebesar USD 60 milyar, bersamaan dengan kombinasi tindakan tindakan tersebut posisi rupiah kembali ke posisi sekitar Rp 15.000,- per USD.