REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Didik Pradjoko, Dosen Sejarah ketua Prodi Sejarah FIB UI
Meneladani kehidupan dan sepak terjang kaum intelegensia atau kaum terdidik Indonesia pada awal abad ke-20 merupakan aspek penting yang dapat memberikan keteladanan dan kepeloporan bagi generasi muda bangsa Indonesia dewasa ini. Di tengah-tengah merosotnya rasa nasionalisme generasi muda dewasa ini keteladanan dan atau perilaku yang dapat dijadikan contoh dari para cendekiawan Indonesia pada awal abad ke-20 merupakan pendidikan yang baik bagi para generasi penerus Indonesia.
Mereka para intelegensia (cendekiawan) memberikan keteladanan tentang kepeloporan perjuangan mereka untuk mencerdaskan masyarakat bumiputera sekaligus berupaya mengangkat derajat dan martabat mereka melalui tulisan-tulisan yang berjangka panjang ke depan demi tercapainya kemerdekaan Indonesia.
Mereka memberikan contoh dengan sikap kritisnya terhadap penindasan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka berjuang dengan tulisan-tulisan visioner dan kritisnya dalam berbagai media massa, mereka berjuang dalam lapangan pendidikan bagi kaum Bumiputera yang belum tersentuh pendidikan kolonial dan mereka juga beraksi dalam berbagai organisasi social dan politik memperjuangkan martabat bangsa dan sekaligus menentang penjajahan Belanda atas bumi Indonesia.
Tulisan dibawah ini menjelaskan lebih jauh tentang kemunculan kelompok intelegensia Indonesia ini dan segala aktifitasnya. Periode awal abad ke-20 sebagai latar sejarah masa Pergerakan Nasional tidak dapat dipisahkan dari aspek perubahan sosial, ekonomi dan budaya yang terjadi terutama pada akhir abad ke-19. Pada masa itu telah terjadi perubahan besar-besaran dalam pranata kehidupan masyarakat Indonesia diakibatkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berlangsung selama abad ke-19.
Secara konseptual selama abad ke-19, telah terjadi dengan apa yang disebut praktek yang dikenal dengan exploit (perah), divide (pecah belah) dan rule (kuasai) yang mencengkeram sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Praktek-praktek tersebutlah yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda selama abad ke-19, dengan melakukan eksploitasi tenaga dan tanah milik penduduk bumiputera (pribumi) melalui kebijakan Cultuur Stelsel (sistem penanaman/perkebunan) yang kemudian oleh para penulis sejarah Indonesia sentries disebut sebagai ‘sistem tanam paksa’.
Praktek tersebut melibatkan sebagian besar para petani di Jawa dan sebagian Sumatera yang diperas tenaga dan tanahnya demi keuntungan kolonial. Eksploitasi ini kemudian terus berkembang dengan jenisnya yang baru melalui komersialisasi perkebunan sejak tahun 1870 berdasarkan Undang Undang Agraria (Agrarische Wet 1870). Pada saat itu Pulau Jawa dan sebagian Sumatera berubah menjadi ‘pulau perkebunan’ terbesar di dunia.
Komersialisasi perkebunan oleh para pengusaha swasta Eropa dan juga Amerika ini membuka babak baru penderitaan rakyat yang dijadikan buruh rendahan dengan upah yang sangat kecil sehingga kebanyakan dari para buruh ini mencukupi kebutuhan hidupnya kemudian terjebak dalam hutang ke perusahaan perkebunan swasta tersebut.
Meski bagi pengusaha swasta komersialisasi perkebunan tersebut sejak tahun 1830-1900, telah mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi pemerintah Belanda dan para pengusaha swasta asing. Bahkan pada waktu itu sekitar atahun 1860-an-1870-an, Pulau Jawa adalah pemasok terbesar untuk kebutuhan gula dunia, selain produk kopi, teh, coklat, lada, karet, serat karung, kina dan lain-lain.
Industrialisasi besar-besaran kemudian muncul sejak tahun 1860-an sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan perkebunan-perkebunan besar. Pada saat itu pemerintah dan juga swasta mendirikan pabrik-pabrik pengolahan hasil perkebunan, terutama pabrik-pabrik gula.
Selain itu salah satu aspek yang besar pengaruhnya terhadap perubahan sosial dalam masyarakat adalah diintrodusirnya transportasi kereta api sejak tahun 1860-an yang dipergunakan untuk mengangkut hasil perkebunan dan hasil industri pengolahannya. Sejak pertama kali dibangun di jalur Semarang-Solo-Yogyakarta, maka sampai tahun 1890-an jalur kereta api ini telah mengintegrasikan seluruh pulau Jawa dan sebagaian wilayah di Aceh, Sumatera Timur (utara), Sumatera Barat dan Selatan. Secara perlahan penduduk Indonesia di Jawa dan Sumatera lebih mudah bepergian dan berinteraksi satu dengan lainnya dari satu tempat ke tempat lainnya.
Selain itu salah satu faktor yang mengubah sejarah adalah tumbuhnya perkotaan yang semakin meluas terutama di Pulau Jawa. Berupa kegiatan pusat administrasi kolonial, kegiatan perdagangan dan pemasaran hasil-hasil perkebunan dan munculnya industri-industri yang memicu pertumbuhan perkotaan dengan kantor-kantor dagangnya dan juga kota pelabuhannya. Kota-kota seperti Batavia (Jakarta), Cirebon, Bogor (Buitenzorg), Tegal, Pekalongan, Purwokerto, Yogyakarta, Surakarta, Semarang,
- Keterangan Foto: Dr. Cipto Mangunkusumo dan R.M. Suwardi Suryaningrat dua tokoh intelektual Indonesia yang menyuarakan paham kebangsaan, bersama E.F.E Douwes Dekker, mereka bersama mendirikan Indische partij 1913
Madiun, Kediri, Malang, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Jember dan lain-lainnya merupakan kota-kota yang berkembang semakin pesat. Kota-kota ini sejak akhir abad-19 semakin terang di malam hari akibat aktifitas ekonomi yang berlangsung di sana, terlebih lagi lampu-lampu gas juga sudah mulai dipergunakan dan sejak tahun 1900-an mulai diganti dengan lampu-lampu listrik.
Kota-kota inilah yang kemudian menggantikan desa-desa dan pedalaman sebagai pusat gerakan sejarah. Masyarakat dan penduduk kota yang terdiri atas kaum buruh, pegawai kolonial dan kaum terpelajar atau kaum intelegensia telah menggantikan posisi petani sebagai actor sejarah. Dalam latar sejarah seperti inilah muncul kebangkitan dari kelompok intelegensia yang nantinya menjadi actor sejarah yang mengubah jalannya sejarah pada awal abad ke-20 dan selanjutnya.
- Keterangan foto: Dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo, 1908, salah seorang tokoh intelektual yang berwawasan kebangsaan