REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dudung Abdurahman, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
Momentum Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 2020 yang bersamaan dengan akhir Ramadhan 1441 H, memberikan makna yang sangat istimewa bagi kesatuan bangsa di atas suasana persaudaraan (ukhuwah) di bulan suci. Harkitnas tahun ini untuk mendorong semangat masyarakat segera terbebas dari wabah corona.
Semangat kebangkitan nasional merupakan tonggak sejarah Indonesia, yang mulai terjadi sejak awal abad ke-20. Ketika itu, atas kepeloporan para tokoh negeri, khususnya dipimpin Soetomo melalui gerakannya dalam Budi Utomo, menumbuhkan kesadaran kebangsaan untuk bisa terbebas dari cengkraman kolonial Belanda. Gerakan Budi Utomo, yang dijalankan dengan membangun kesadaran sosial atas ketertinggalan bangsa ini dalam pendidikan, ekonomi, dan budayanya dari bangsa yang lebih maju, khususnya bangsa Barat, telah menyadarkan berbagai komponen bangsa ini untuk memperbaiki diri dengan semangat kebangsaan melawan kekuasaan dan dominasi bangsa asing.
Demikian semangat kebangsaan itu dilakukan juga oleh para tokoh agama, khususnya melalui pembaruan Islam, seperti misalnya Sarekat Dagang Islam oleh H Samanhoedi, diteruskan menjadi Sarekat Islam oleh HOS. Tjokroaminoto, yang menekankan pada pembaruan bidang sosial-ekonomi dan politik.
Sementara itu, KH Ahmad Dahlan mempelopori gerakan pembaruan melalui Muhammadiyah, yang mengkonsentrasikan pada perbaikan keagamaan, pendidikan dan sosial, diikuti gerakan-gerakan reformis lainnya seperti Sumatera Thawalib, Al-Irsyad, dan Persis. Tidak ketinggalan di kalangan tokoh ulama pesantren seperti KH Hasyim Asy’ari membangkitkan pembaruan keagamaan dan sosial-budaya melalui Nahdlatul Ulama (NU), dan diikuti ormas serupa di berbagai daerah di negeri ini.
Sedikitnya dua gambaran singkat tersebut menjadi indikasi dan tipologi komponen bangsa melakukan kebangkitan nasional. Dalam perjalanan sejarah Indonesia hingga mencapai kemerdekaannya, dua kelompok tersebut yang secara umum sering kali dibedakan dengan sebutan antara “nasionalis dan Islam”, terus bahu membahu menentukan identitas Indonesia pada sekitar dua dekade permulaan kemerdekaan negeri ini.
Pergumulan antara kedua kekuatan sosial-politik tersebut, dengan berbagai kecenderungan, metode, dan pengembangan yang beragam, juga tetap mewarnai proses pembangunan bangsa di masa-masa akhir abad ke-20. Bahkan memasuki era reformasi Indonesia pada abad ke-20 satu ini, arah kebangsaan menunjukkan pola segregasi yang hampir sama dengan masa-masa sebelumnya, kecuali diversifikasi sosial-politik yang berpengaruh kepada dimensi kehidupan lain termasuk keagamaan, tampak semakin massif, meski dengan semangat yang sama mengusung cita-cita kebangkitan bangsa.
Seperti dirasakan oleh semua penduduk negeri sekarang ini, momentum Harkitnas berlangsung dalam suasana keterpurukan masyarakat akibat wabah Covid-19, telah mengispirasi masyarakat bangsa untuk bersatu, bergotong-royong, dan merajut persaudaraan (ukhuwah) untuk menanggulangi berbagai dampak merebaknya wabah tersebut. Momentum ini juga beriringan dengan suasana Lebaran, yang syarat nilai-nilai silaturahim, dan patut dimaknai lebih luas dari sekedar mudik yang kini dilarang. Lebaran justru dijadikan semangat untuk mengukir kembali kebangkitan nasional dalam semangat ukhuwah yang sejati.
Siapa pun pasti menyadari, dan merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan, bahwa Indonesia adalah negeri yang dihuni beragam suku bangsa dengan perbedaan latar kebudayaan. Namun perbedaan itu juga menampilkan karakter kemanusiaan serta kebangsaan yang khas, sehingga masyarakat dunia menyebutnya sebagai bangsa plural dan multikutural. Keadaan ini semakna dengan QS. Al-Hujrat, 13 yang menyatakan: “Tuhan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal”. Jelas ayat ini perbedaan merupakan sebuah keniscayaan bagi umat manusia.
Perbedaan tidak bisa dihindari dan bukan untuk dibinasakan, tetapi justru sebagai tantangan umat manusia untuk mensikapinya atas landasan ketakwaan. Dengan begitu keniscayaan bagi semua pihak untuk mengembalikan berbagai persoalan dengan penuh kesabaran, pengertian, menggunakan hati nurani yang jernih, dan berusaha memahami pihak lain dalam kebersamaan.
Kemajemukan bangsa ini telah diikat dengan landasan kesatuan berbangsa, bahkan kemajemukan di kalangan umat Islam sendiri telah menunjukkan dinamika yang membawa kemajuan dan perubahan bangsa. Hikmah di balik dinamika kemajemukan itu, seharusnya dijadikan semangat mawas diri atas kebangsaan dan kemanusiaan dewasa ini.
Masih banyak dijumpai ketimpangan sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Bahkan sering kali muncul anggapan serta tuduhan berbagai pihak terhadap citra kebangsaan ini, yang jauh dari nilai-nilai humanisme, dan cenderung menampilkan tindakan-tindakan kekerasan. Seiring dengan suasana Ramadhan, semua tantangan tersebut harus segera dijawab dengan selalu menegakkan ketakwaan dalam segala aspek kehidupan bangsa.