Senin 25 May 2020 16:20 WIB

Tradisi Khas Ramadhan dan Idul Fitri di Era Ottoman

Ramadhan memiliki arti yang istimewa bagi Kekaisaran Ottoman dan masyarakatnya.

Ilustrasi.
Foto: Timeturk.com
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yollanda Vusvita Sari, Wakil Ketua Umum RANIA Turki, Pemerhati Budaya Ottoman

Datangnya bulan suci Ramadhan memiliki arti yang istimewa bagi Kekaisaran Ottoman dan masyarakatnya. Dinasti Ottoman yang berkuasa selama enam abad lebih (1299-1923) di wilayah yang membentang dari Anatolia, Balkan, Timur Tengah hingga Afrika Utara tentu saja meninggalkan banyak tradisi unik dalam menyambut Ramadhan. Salah satunya adalah tradisi pawai militer, Resimen Syura, yang berangkat dari ibukota Istanbul dan kemudian melakukan parade yang disaksikan masyarakat.

Pawai ini menjadi upacara penting yang menandai datangnya Ramadhan. Kemudian Kadi (hakim) dari Istanbul akan mengirim para ahli ke berbagai distrik untuk mengamati datangnya Ramadhan dan memantau di malam-malam terakhir Syaban yang disebut dengan yaumi shak. Dengan terlihatnya bulan sabit, maka datangnya awal Ramadhan akan dideklarasikan oleh tellal (operator kota) dan dipasangnya lampu mahya di masjid-masjid (The Pen, 2014).

Selain itu pada era Sultan Mahmud II (memerintah 1808-1839) terdapat tradisi meriam Ramadhan sebagai penanda masuknya bulan suci. Diceritakan bahwa di Kairo pada era gubernur Khedive Ismail Pasha, beberapa tentara sedang membersihkan meriam dan tanpa sengaja sebuah peluru ditembakkan ke langit Kairo.

Kebetulan saat itu bersamaan dengan waktu adzan Mahgrib pada hari Ramadhan. Penduduk Kairo berpikir bahwa itu adalah tradisi baru untuk mengumumkan waktu berbuka puasa selain adzan. Orang-orang mulai membicarakan insiden ini, dan Haja Fatima, putri gubernur, terkesan dengan hal itu dan mengeluarkan dekrit bahwa meriam akan ditembakkan pada waktu iftar, sahur dan pada perayaan hari raya (Turkey’s Here, 2018).

Pengamat sejarah Ottoman Dima al-Sharif, menjelaskan lampu mahya adalah pajangan cahaya yang terbuat dari ratusan lampu minyak yang dihubungkan dengan tali, digantung di antara menara masjid, kemudian menerangi langit malam dengan menampilkan perkataan atau gambar yang Islami.

Seni ini digunakan untuk mendorong masyarakat Ottoman untuk melakukan perbuatan baik di bulan Ramadhan. Diketahui penggunaan mahya tercatat pada akhir abad ke-16 di masa Sultan Murad III (m. 1574-1595).

Awalnya masjid-masjid Selatin (para Sultan) yang pertama kali memasang mahya karena mereka memiliki setidaknya dua menara. Frasa yang umum digunakan untuk mahya adalah “Bismillah”, “Selamat Datang Ramadhan” dan “Laylatul Qadar”. Sedangkan motif gambar umumnya adalah masjid, bintang, mawar, burung dan bulan sabit (www.dimasharif.com, 2013).

Tradisi Ramadhan Para Sultan

Tradisi khas Ramadhan juga berlangsung di Istana Ottoman dengan adanya ceramah Hüzuru Humayun yang berarti di hadapan Sultan. Selama Ramadhan, Sultan akan mengundang para ulama ke istana untuk mengadakan ceramah ilmiah tentang penafsiran ayat-ayat Alquran. Ceramah ini adalah tradisi ilmiah para Sultan yang dilangsungkan sejak awal berdirinya dinasti Ottoman.

Para ulama yang menafsirkan ayat disebut “muqarrir” dan ahli fiqih disebut “mukhatab”, keduanya dengan bebas memberikan pelajaran agama kepada sultan dengan metode tanya jawab dalam bentuk debat ilmiah yang kaya dan dinamis. Sultan biasanya menentukan dimana tempat ceramah hüzuru dan juga topik bahasan ditentukan atas persetujuan Sultan (Daily Sabah, 2014).

Kemudian terdapat juga upacara Hirkayi Saadet dimana jubah Nabi Muhammad SAW akan diperlihatkan pada hari ke-15 Ramadhan. Tradisi ini dimulai setelah relik suci tersebut dibawa ke Istanbul pasca Mesir ditaklukkan oleh Kekaisaran Ottoman. Tiga hari sebelum upacara, Ruang Revan, tempat yang akan digunakan untuk menampilkan relik tersebut disapu, dibersihkan dan dicuci dengan air mawar.

Istana kemudian mengirim udangan kepada para pejabat tinggi seperti Wazir Agung, Syaikhul Islam (mufti agung), Shehzade (pangeran), Kadi (hakim) dan pejabat pemerintahan lainnya. Upacara akan dimulai dengan pembacaan Alquran dan kemudian Sultan akan membuka peti emas berisikan jubah suci dengan kunci emas.

Sultan akan menggosok wajahnya di atas Destimali Şerif, koleksi kain serbet kecil yang diletakkan di samping jubah suci. Setelah itu pengunjung lain akan masuk membaca shalawat, memberi penghormatan kepada nabi dan mencium jubah tersebut (The Pen, 2014).

Setelah upacara jubah suci selesai dilaksanakan, Sultan akan menggelar buka puasa bersama mengundang para punggawa istananya. Para tamu undangan akan duduk di sekitar nampan tembaga berisikan hidangan makan dan berbuka puasa.

Sultan kemudian akan memberikan hadiah kepada tamunya dalam kantong sutra merah yang disebut Diş Kirası (penyewaan gigi). Hadiah ini adalah bentuk terima kasih tuan rumah kepada tamunya karena menerima undangannya, karena dalam Islam memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa pahalanya sangat besar.

Tradisi istana ini kemudian berkembang, dimana para pejabat istana dan bangsawan membuka pintu rumahnya selama bulan Ramadhan dan menyediakan hidangan berbuka puasa kepada masyarakat umum (Haber Turk, 2018).

Sementara itu dalam memoarnya Ayşe Osmanoğlu, putri Sultan Abdülhamid II (m. 1876-1909), menyebutkan bahwa sang Sultan juga memberikan hadiah kepada para tamunya terutama rakyat miskin.

“Untuk masyarakat yang datang ke area Mabeyn yang terletak antara wilayah Harem dan Selamlık, diş kirası akan diberikan oleh kepala bendahara istana. Setiap malam, satu batalyon tentara akan mendapatkan makanan berbuka puasa di Yıldız Square. Mereka melakukan doa bersama dan diberikan diş kirası, kemudian mereka akan meneriakkan ‘Hidup Sultan!’ untuk merayakannya” (Ayşe Osmanoğlu: My Father, Abdülhamid).

Laylatul Qadar dan Hari Raya Gula

Dalam sejarah Ottoman, Kadir Gecesi atau malam Laylatul Qadar dirayakan dengan sangat meriah pada malam ke-27 Ramadhan. Malam sakral ini dihabiskan dengan membaca Mevlidi Şerif dan Al Qur’an di istana Ottoman dan masjid-masjid di Istanbul.

Pada era Sultan Abdülhamid II, para tamu undangan ini datang ke istana dengan seragam resmi mereka. Sebelum awal mevlidi, mereka diterima oleh Sultan dan Serasker Pasha sesuai dengan pangkat dan protokolnya.

Kemudian Imam Masjid Hamidiye dan Muazin Mizika Hümayun yang akan memimpin pembacaan mevlid mengambil tempat mereka. Para tamu duduk di tempat yang telah disediakan atas arahan Sultan, kemudian disuguhi hidangan air mawar dan permen. Ketika acara selesai para tamu menyampaikan ucapan selamat kepada Sultan disertai doa bersama (Dunya Bulteni, 2012).

Pada malam itu juga menara-menara masjid Istanbul akan dihiasi dengan lampu mahya dan perayaan malam Qadar diramaikan dengan parade istana. Oleh karena itu jalan sepanjang rute pawai akan dilengkapi dengan kursi khusus, lentera, lampu minyak dan obor, kemudian bangunan-bangunan direnovasi dan dicat ulang.

Sultan dan para pejabat istana akan berparade dengan kereta-kereta kuda setelah prosesi mevlidi disertai oleh ribuan pasukan Resimen Kadir, resimen khusus dalam pawai tersebut. Sementara itu keluarga sultan dan para harem akan menunggu di tempat khusus yang disediakan untuk mereka di alun-alun. Setelah bergabung dengan rombongan utama, parade istana tersebut akan melakukan pawai keliling Istanbul dan kemudian kembali ke istana (Aksaray Haberci, 2016).

Hari Raya Idul Fitri dalam tradisi Ottoman disebut dengan Şeker Bayramı atau Hari Raya Gula yang dirayakan selama tiga hari penuh. Penamaan itu berasal dari banyaknya jumlah cokelat, baklava, dan permen bonbon yang dikonsumsi selama perayaan tersebut.

Istilah tersebut juga berasal dari era Sultan Selim II (m. 1566-1574), yang dimana selama tiga hari raya jalanan Istanbul penuh dengan orang yang mengunjungi kerabatnya. Anak-anak membungkuk untuk mencium tangan orangtua dan mengharapkan koin dan permen sebagai imbalan atas tindakan mereka.

Selain itu juga istana seringkali mengirimkan nampan-nampan permen ke pos-pos tentara di bulan Ramadhan, dari sinilah tradisi halk tatlısı atau manisan rakyat dimulai. Toko-toko kue akan dipenuhi dengan berbagai macam manisan seperti tulumba, baklava, dan cokelat untuk dibagikan kepada tamu selama hari raya (Inside Out In Istanbul, 2018).

Pada akhirnya berbagai kisah mengenai tradisi Ramadhan di era Ottoman ini menunjukkan kepada kita betapa kayanya kebudayaan kekaisaran Islam tersebut. Cerita penuh warna yang pernah muncul di memori masa kecil kita akan para sultan, pangeran, harem, masjid besar, pawai istana bisa jadi terinspirasi dari kisah peradaban Ottoman. Sebuah peradaban Islam yang mempengaruhi banyak bangsa Muslim di dunia bahkan setelah masa kejatuhannya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement