REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Truk bermuatan lebih, atau kerap disebut truk over dimension dan over load (Odol) masih banyak berkeliaran di senjang jalan antarkota antarprovinsi, dan juga di jalan bebas hambatan (tol). Padahal, truk bermuatan lebih memiliki risiko kecelakaan yang sangat tinggi. Risiko yang sama juga mengancam pengendara yang berada di sisi kiri kanan, dan belakang truk lantaran adanya titik kebutaan (blind spot).
Pengamat keselamatan berkendara yang juga pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC), Jusri Pulubuhu, mengatakan, truk bermuatan merupakan kendaraan yang amat memiliki risiko tinggi kecelakaan. Sayangnya, masyarakat, termasuk para pengendara kendaraan kecil dan kendaraan besar tak menyadari tingginya risiko kecelakaan dari kendaraan besar.
“Kebanyakan kita nyaman di depan ataupun di belakang truk. Si pengemudi truk lihat ibu-ibu bonceng anaknya di depan dia, padahal jaraknya kalau hitung-hitungan itu rawan kecelakaan, tapi dia masih nyaman. Jadi tidak ada antisipasi,” ungkap Jusri.
Secara teknis, ketika truk mengerem depan, maka 80 persen dari berat muatan akan jatuh ke depan. Begitu pun ketika truk bermuatan melakukan akselerasi, dan pengereman mundur, maka 50 persen dari berat muatan akan jatuh ke belakang.
Hal serupa juga terjadi bila truk berbelok ke arah kanan dan kiri, 50 persen dari berat muatan akan jatuh ke samping kanan atau kiri. Jika truk bermuatan melintasi gundukan, maka 20 persen dari berat muatan pun akan ikut loncat ke atas.
Risiko kecelakaan kendaraan besar menjadi tinggi lantaran kendaraan ini memiliki banyak titik kebutaan atau blind spot. Supir truk pun tidak bisa melihat beberapa titik di sekitar truk.
Beberapa titik blind spot itu adalah bagian belakang truk, samping kanan, depan samping, dan bagian depan. “Area blind spot kiri lebih besar daripada yang kanan, makanya aturannya dilarang menyalip dari kiri.”
Oleh sebab itu, ia menekankan, bila pengendara kendaraan kecil, seperti mobil atau motor menemui truk berdimensi, maka sebaiknya pengendara menjauh dari truk tersebut.
“Sikap kita adalah menjauh. Kita tidak bisa menegur karena nggak ada koridornya. Nggak ada hukumnya.”
Caranya adalah, jika pengemudi mobil kecil berada di belakang kendaraan besar, maka kendaraan kecil bisa mengurangi kecepatan dan keluar dari area rawan itu. Kalau kondisi aman, maka pengemudi mobil kecil bisa menyalip dan menghindari truk itu.
“Sejauh mungkin meninggalkan dia. Menghindar, kasih kesempatan dia menyalip kita. Kalau pun macet, harus segera pindah dan tidak berlama-lama di situasi kritis itu,” ungkap Jusri.
Sumber: khoirul azwar