REPUBLIKA.CO.ID, Kesehatan masyarakat jelas berkorelasi erat dengan pertahanan nasional. Terlebih dalam masa pandemiCoronavirus disease 2019 atau Covid-19 yang mewabah dan menjangkiti penduduk dunia sejak Desember 2019.
Nyaris tidak ada negara yang luput dari virus corona tipe baru yang pertama kali merebak di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China tersebut. Para ahli dan peneliti di negara-negara adidaya berpacu dengan waktu menciptakan antivirus untuk menangkalnya maupun obat terapi untuk menyembuhkan pasien.
Obat menjadi kebutuhan krusial. Para dokter membutuhkan berbagai jenis obat dengan senyawa yang tepat untuk dapat diresepkan dalam terapi penyembuhan pasien yang positif terjangkit severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19 itu.
Saat krisis obat dunia di masa pandemi terjadi, bagaimana nasib negara yang 95 persen bahan baku obatnya impor seperti Indonesia?
Bukan sekedar persoalan APBN yang tercabik-cabik karena harga yang mahal, dengan nilai impor bahan baku obat setiap tahun mencapai 2,5 miliar dolar AS hingga 2,7 miliar dolar AS. Tapi masih bisakah bahan baku obat itu diperoleh dengan mudah sementara seluruh negara di dunia juga sangat membutuhkan obat.
Sebenarnya, tekad untuk lepas dari impor bahan baku obat telah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Kantor Presiden pada 21 September 2019, di mana Kepala Negara meminta agar skema insentif bagi riset di bidang farmasi bisa diperbesar.
Tidak hanya itu, ia juga meminta agar ada peningkatan insentif untuk riset yang menghasilkan temuan alat kesehatan. Harapannya, mampu menghasilkan produk kesehatan yang kompetitif dengan yang diproduksi di luar negeri.
Presiden juga meminta agar regulasi yang menghambat investasi maupun pengembangan industri farmasi serta alat-alat kesehatan bisa dipangkas. Proses perizinan juga diminta untuk disederhanakan.
Harapannya, industri farmasi di dalam negeri dapat tumbuh dengan baik, dan masyarakat dapat membeli obat dengan harga yang lebih murah.