REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*
Saya sudah lupa sekarang hari keberapa berada di rumah aja. Awalnya, saya masih menghitung hari per hari, lalu pekan per pekan, lalu bulan ke bulan. Hingga akhirnya saya benar-benar lupa. Saya mulai terbiasa.
Tetapi orang-orang di luaran sana sepertinya mulai tidak betah di rumah aja. Apalagi sudah terlalu lama dan tidak tahu kapan akan benar-benar selesai. Puncaknya adalah munculnya kerumunan orang ketika restoran cepat saji, McDonald yang terletak di pusat Jakarta tutup setelah puluhan tahun beroperasi. McDonalds pertama di Indonesia itu menggelar seremoni penutupan gerainya pada Ahad (10/5) malam, sehingga didatangi banyak orang. Padahal, saat ini DKI Jakarta tengah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran Covid-19
McDonald Sarinah memang jadi saksi banyak peristiwa besar di Jakarta. Tapi itu tidak membuat saya ingin ke sana di tengah pandemi Covid-19 yang masih menggila meski saya ikut sedih juga. Saya cukup tahu diri untuk tidak datang untuk mengucapkan perpisahan. Tetapi, hal itu tidak berlaku bagi segelintir orang yang rela datang untuk mengabadikan moment penutupan McDonald Sarinah.
Sangat disayangkan kenangan yang seharusnya berakhir baik bagi McDonald Sarinah harus ternoda dengan cerita buruk pelanggaran PSBB. Bahkan Pemerintah Provinsi DKI memberikan sanksi berupa denda kepada manajemen McDonalds Sarinah. Denda yang dikenakan sebesar Rp 10 juta
Denda tersebut sesuai sanksi pada Pasal 7 Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di DKI Jakarta.
Lalu muncul lagi peristiwa yang hampir serupa yaitu antrean panjang para calon penumpang yang berada di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta pada Kamis (14/5). Di tengah penerapan aturan PSBB, para calon penumpang yang mengantre tampak sama sekali tak mengindahkan aturan physical distancing. Celakanya, ini muncul tak lama setelah pemerintah lewat Kementerian Perhubungan melonggarkan PSBB di bandara. Pemerintah membentengi pelonggaran itu dengan alasan penerbangan hanya untuk perjalanan dinas dan setiap penumpang harus memenuhi prasyarat berupa surat-surat.
Dua peristiwa itu memunculkan kekecewaan besar, terutama untuk tenaga medis. Mereka sampai menegaskan sikap lewat “Indonesia Terserah”. Bahkan sempat ada ajakan menyelamatkan tenaga medis dengan cara membuat para tenaga medis kembali ke rumah dan masyarakat yang dipersilakan untuk bebas di luaran sana.
Jujur saja, dua peristiwa itu juga membuat saya merasa terkhianati. Saya merasa sia-sia tetap berada di rumah berbulan-bulan. Selama ini, saya seminim mungkin berinteraksi atau pergi keluar rumah. Kalaupun terpaksa keluar untuk kebutuhan pangan, saya melakukannya secepat kilat. Tidak ada lagi pikiran untuk window shopping atau nongkrong ditempat-tempat cantik. Apalagi sampai harus pergi meninggalkan zona merah dan berpotensi membawa virus ke tempat-tempat lain.
Saya berkali-kali bertanya pada diri sendiri: sia-siakah ini?
Tiba-tiba orang tua menelpon dan menanyakan kabar saya. Untuk kesekian kali mereka menawarkan diri untuk menjemput saya agar bisa pulang ke rumah. Saya lagi-lagi harus bersikeras menolak tawaran menggiurkan itu.
Lalu saya kembali menyadari dan meyakini bahwa apa yang saya lakukan untuk tetap di rumah dan tidak ikut-ikutan bepergian sama sekali tidak sia-sia. Setidaknya dengan diam di rumah tidak memperparah keadaan yang sudah parah. Setidaknya saya menghargai mereka yang berjuang dan tetap patuh dengan di rumah saja meski sudah bosan luar biasa. Lebih dari itu, saya melakukan ini semua demi keluarga terutama orang tua. Karena, nyatanya, untuk melindungi orang tercinta tidak pernah ada yang sia-sia.
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id