REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwi Murdaningsih*
Ramadhan dan Idul Fitri tahun ini terasa berbeda sekali. Semua bak dilakuan dalam suasana prihatin.
Bagi saya pribadi, ini adalah Idul Fitri pertama saya tidak mudik. Bertahun-tahun menjadi orang rantau, saya selalu mudik di momen lebaran. Pandemi covid-19 menjadi alasan utama tidak mudik.
Meminjam kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bulan lalu: kalau sayang jangan mudik. Sebagai salah satu 'sobat ambyar', saya pun mengingat nasihat pakdhe Didi Kempot untuk tidak mudik. Rindunya ditahan dulu. Sampai suasana kondusif baru mudik.
Sejak awal penetapan status darurat covid-19 sampai 29 Mei, saya sudah bersiap-siap seandainya tidak mungkin. Saya masih berharap covid-ini berlalu dengan cepat sehingga tak lama selepas momen lebaran bisa mudik. Misalnya, mudik di bulan Juni.
Namun ternyata, sepekan terakhir penambahan jumlah kasus positic covid-19 bukannya semakin sedikit, malah semakin banyak. Belakangan kasus bertambah 900 per hari.
Ini bisa dimengerti karena hampir tiga pekan tes masif sering dilakukan. Ini tentu berbeda dengan awal-awal kasus covid-19 terdeteksi, dimana tes covid-19 masih sedikit.
Innalilahi, jangan-jangan perang kita dengan covid-19 sebenarnya baru dimulai? Hampir 21 ribu kasus positif per hari ini dengan korban meninggal 1.200 jiwa. Sungguh bukan angka yang kecil.
Dengan kasus covid-19 yang sering bertambah ini apa yang seharusnya kita semua lakukan? Tentu kita harus semakin mawas diri. Disiplin kuncinya.
Tetap cuci tangan, jaga kebersihan, tetap jaga kesehatan dan jaga jarak. Idul Fitri ini juga menjadi momentum untuk tetap konsisten disiplin menjalankan protokol kesehatan.
Jangan berkerumun, jangan berjabat tangan, tetap cuci tangan. Tahan diri untuk tidak //ngumpul-ngumpul. Tetap di rumah. Sementara, silaturahim pakai video call dulu. Kalaupun harus bersilaturahim tetap jaga jarak. Kedisiplinan kita maknanya besar sekali agar pandemi ini segera berlalu.
Idul Fitri ini juga semoga bisa menjadi sebuah awal baru bagi pemerintah untuk konsisten membuat kebijakan untuk mengakhiri pandemi. Jika diibaratkan komputer, maka lebaran ini adalah momen tepat pemerintah untuk mengupdate antivirus.
Antivirus harus diperbarui agar virus tidak menjangkau semua komponen dalam perangkat. Pemerintah harus merancang cara dan mengambil langkah agar covid-19 tidak mengambil korban lebih banyak lagi.
Perlu digarisbawahi bahwa keputusan apapun yang diambil pemerintah dampaknya akan terasa sekali bagi masyarakat. Terasa sekali bagi penanganan covid-19.
Sebagai contoh kebijakan soal larangan mudik yang bertujuan membatasi pergerakan masyarakat. Kebijakan larangan mudik yang diterapkan bulan lalu, nyatanya tidak dibarengi dengan konsistensi kebijakan turunan. Larangan mudik, namun transportasi tidak dibatasi. Alhasil, sebagai contoh, sudah 400 ribu orang masuk di Jawa Timur sejak dua bulan terakhir.
Memang tidak mudah untuk melarang mudik. Namun, pemerintah harus menjamin mudik yang dilakukan warganya tetap menerapkan protokol kesehatan. Jaga jarak, pakai masker dan cuci tangan harus selalu digemakan kepada masyarakat.
Terbaru, belajarlah dari peristiwa berkerumumnya orang saat berbelanja jelang lebaran. Saat pemerintah mengizinkan toko kebutuhan lebaran dibuka, konsekuensinya tentu masyarakat akan berbondong-bondong datang. Jika pembukaan toko itu memang tidak bisa dicegah setidaknya pemerintah harus memastikan mereka yang belanja tetap mematuhi protokol kesehatan. Jangan sampai luput. Jangan sampai corona semakin menyebar.
Mari kita tetap disiplin. Dan jangan lupa selalu berdoa, semoga pandemi ini segera berlalu...
*) penulis adalah jurnalis republika.co.id